Kisah Selingan (Cerpen, Fanfic IC)



Kisah Selingan (2)

Sejak pukul enam, parkiran gedung D lantai dua ramai lalu lalang mahasiswa berseragam ungu, beralmamater, dan mahasiswa baru berpakaian putih hitam yang telah duduk manis di karpet.

Sudah dari hari kemarin parkiran digunakan untuk orientasi mahasiswa baru ketiga prodi di Fakultas Bahasa dan Seni. Dan kini, jarum waktu menunjukkan pukul enam lebih dua puluh acara belum dimulai, melenceng dari waktu yang ditentukan dalam rundown acara BEM FBS.

Pukul setengah tujuh tepat, setelah diperkirakan semua peserta dan panitia hadir, acara dimulai. Rombongan di depan sudah mulai rapi dan tenang mendengarkan kata demi kata dari seorang panitia berseragam ungu. Berkebalikan dengan situasi di belakang. Banyak yang berceloteh mengenai perlengkapan yang belum disediakan karena kelalaian atau pun kecerobohan.

“Shil, gitar lo senar nomor tiga putus!” seru Obiet panik berjalan ke arah gadis berkacamata sambil menenteng sebuah gitar coklat.

Shilla yang masih disibukkan dengan pertanyaan dari pengurus Hima Bahasa Daerah menoleh terkejut. “Kok bisa?”

Obiet mengedikkan bahu dan menyerahkan gitar itu dan disambut dengan raut syok gadis itu. “Nggak tau. Tadi sewaktu gue jalan ke sini senarnya putus gitu aja.”

Seseorang berseragam sama dengannya menghampiri dan menepuk bahunya. Shilla menoleh.

“Bentar lagi giliran lo opening solo. Cepetan ke samping panggung,” peringatnya.

Kepanikan semakin menjalarinya. Dalam waktu sepagi ini dan ditambah bukan di daerah rumahnya, di mana ia bisa mencari toko perlengkapan musik dalam waktu secepat ini?

“Duh, Kak Cahya. Ini mendadak senar gitarku putus dan aku belum beli senar baru.”

Cahya berkacak pinggang. “Cepet cari penggantinya!” Lalu berlalu dengan terburu – buru.

Shilla menghela nafas. Obiet yang memperhatikan gadis itu turut menghela nafas.

“Coba lo tanya Kak Kiki. Bisa aja dia bawa gitar dan disimpen di camp,” saran Obiet tersenyum menenangkan sebelum kembali ke tempat semula. Shilla mengangguk lesu.

Saku rok hitamnya bergetar. Dengan lemas ia merogoh sakunya dan mengambil ponsel yang menyala. Ada satu pesan masuk. Dari Alvin. Seketika itu juga senyum kecilnya terbit.

Kak Alv <3: Semangat nge-ospek Shil <3

“Kak,” panggil seseorang dari balik punggungnya. Shilla menoleh cepat dan mendapati mahasiswa berseragam hitam putih dengan menenteng gitar di punggungnya.

Segera, ia memasang raut ramah. “Iya, ada apa, Dek?”

“Butuh gitar, kan?” ucapnya yang sukses membuat Shilla melongo.

“Eh?”

Shilla terdiam saja melihat pemuda di hadapannya menyerahkan gitar berwarna putih tulang kepadanya. Pemuda itu tersenyum manis kala menyadari kakak tingkat di depannya ini kebingungan. “Pake aja, Kak, sebelum dimarahi karena senar gitar yang putus.”

Meski ragu, Shilla menerima gitar itu dan diam – diam mengagumi gitar yang ia tahu harganya selangit. Belum habis rasa kagumnya, pemuda itu mengambil gitar miliknya yang tergenggam di tangan kirinya.

“Gue bawain gitar lo,” ucapnya sambil menunjukkan gitar coklatnya. “Sukses opening solo-nya.” Pemuda itu tersenyum lalu menuju kelompoknya di barisan prodi Bahasa Indonesia.

Shilla benar – benar melongo melihat kejadian barusan. Kenapa bisa mahasiswa baru itu mengetahui gejolaknya saat ini.

“Shilla! Langsung ke samping panggung. Dua menit lagi giliran lo tampil.”

Shilla mengangguk semangat. Dengan yakin, ia melangkah ke samping panggung. Menunggu waktunya sambil memasangkan kabel sound pada gitar.

“Gitar lo baru, Shil?” tanya Dayat yang mengawasi jalannya acara di samping panggung.

“Bukan, Kak. Dipinjemi. Senar gitarku putus tadi,” jawab Shilla.

“Oke! Saatnya hiburan pembuka untuk menyegarkan mata kita yang pastinya masih ngantuk. Silahkan persembahkan yang terbaik, Ashilla Zahrantiara!”

Tepuk tangan antusiasme mengiringi langkah Shilla menuju ke atas panggung mini. Sebelumnya, ia sempat memperbaiki stand mic agar pas. Dan kebetulan yang sangat disyukurinya, gitar ini dapat dikalungkan sehingga ia tidak perlu duduk.

“Terima kasih atas waktu yang telah diberikan pada saya. Semoga adek – adek maba dan juga kakak panitia nggak pusing setelah denger suara saya,” candanya.

Jarinya memetik gitar dengan perlahan memberi kesan mellow pada intro lagu. Petikan itu semakin lama semakin meningkat kecepatannya. Hingga akhirnya genjrengan dimulai seiring lirik yang dilantunkan olehnya.

*

Bagas menatap penuh minat ke arah seorang panitia berseragam ungu di depan sana yang begitu menghayati lagu. Senyum kecil tanpa sadar terbit di wajah putihnya.

“Wuih, Kak Shilla, kan, itu?” celetuk seseorang berseragam sama dengan dirinya di sampingnya dengan suara yang terbilang nyaring.

“Eh, sok kenal banget lo, Ngel! Baru jadi maba udah caper,” sahut seseorang lagi di belakangnya.

“Aku nggak caper, ya, Dif. Masa cewek sekalem aku bisa gitu,” sungut Angel tak terima.

Dan akhirnya, Bagas pun goyah hingga perhatiannya teralihkan pada dua teman barunya itu. “Ngel, kok lo pake kata aku-kamu gitu, sih? Sok manis banget,” cibir Bagas ikut membuat Angel emosi.

“Apaan, sih? Ngeselin semua, deh,” dengus Angel. Bagas dan Difa tertawa. “Aku dari desa di Jawa Tengah. Mana biasa aku pake bahasa gaul orang sini?”

“Ya dibiasain dong,” timpal Difa sambil menyisir rambut ke belakang yang tertiup kipas besar. “Kuno tau! Lo kira ini masih di desa lo apa?”

“Eh, bentar, deh. Lo kenal sama Kakak BEM yang lagi nyanyi itu?” tanya Bagas yang sudah kembali ke kesadarannya semula.

Angel yang meski masih kesal dengan kejahilan Bagas tetap menjawab dengan ogah – ogahan. “Kenal. Dulu dia kakak kelasku waktu SMA. Padahal dulu nggak pernah ikut organisasi apa pun, tapi tetep dikenal. Aku sampai syok waktu liat Kak Shilla jadi panitia, bahkan pengurus organisasi.”

Bagas manggut – manggut mendengar penjelasan Angel. “Asal lo darimana, sih?”

“Aku dari Semarang. Kenapa? Mau nginjak – nginjak tanah Semarang?” balas Angel sengit.

Difa yang sedari tadi memperhatikan kedua orang itu menoyor kepala Angel karena jawaban menuduhnya. “Dih, suudzon aja lo. Lagian siapa yang mau ke kota yang nggak ada apa – apanya itu?”

Gadis itu jelas semakin berang. “Heh, kata siapa nggak ada apa – apanya? Justru di sana banyak tempat peninggalan sejarahnya ketimbang di kota – kota besar lain!”

“Nah, justru itu. Alasan lo tetep kuno sampai sekarang!” balas Difa tak mau kalah.

Bagas yang sedang memperhatikan perform Shilla menggeleng – gelengkan kepalanya. Meski ia mendengarkan suara merdu Shilla di depan sana, namun tak dipungkiri suara berisik kedua temannya itu masuk ke gendang telinganya.

“Gue doain lo berdua jatuh cinta! Bosen gue dari kemarin liat kalian adu mulut.”

Difa dan Angel kompak melotot ke arah Bagas. “Ogah! Jijik!”

Bagas tertawa cekikikan melihat respon keduanya. Pandangannya kembali kepada sosok kakak tingkat yang sudah mencuri hatinya itu. Lagunya hampir rampung. Dan tak dinyana, tatapan mata gadis itu tertuju ke arahnya. Hingga dengan sukarela, Bagas memberikan senyum simpulnya.

*

Waktu istirahat tiba. Shilla duduk sendirian di tangga yang menghubungkan tempat ospek dengan gedung D lantai dua. Ia menyeruput air mineralnya sedikit mencegahnya untuk mengambil stok air minum lagi. Ekor matanya menangkap seseorang yang berjalan ke arahnya. Ia tak menoleh sampai sosok itu benar – benar duduk di sampingnya. Obiet.

“Dapat pengganti gitar darimana, Shil?” tanya Obiet.

Mau tak mau, Shilla menatap gitar putih tulang yang bersandar di dinding samping kirinya dan menghela nafas. “Dari maba. Dan gue lupa orangnya yang mana jadi belum gue kembaliin. Takutnya mau dipake buat lomba yel – yel kelompok.”

Obiet tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar lo. Gila aja, yang penting – penting pasti gampang lo lupain.”

“Nggak dilupain, ya. Tapi emang gue pikunan, sih.”

“Orangnya kayak gimana? Masa sama sekali nggak ada yang lo ingat ciri – cirinya?”

Shilla merengut mendengar ledekan Obiet. “Gatau, deh. Putih bersih wajahnya. Oh, iya! Ada tahi lalatnya di sini.” Telunjuk Shilla menyentuh dagu agak ke kiri. “Pokoknya dia cakep. Kalo senyum matanya sipit.”

Tanpa menunggu lama, tangan Obiet mendarat dengan mulus di kepala Shilla. “Heh, inget. Lo udah punya Alvin.”

“Yaelah, gue cuma bilang dia cakep doang kali. Tadi gue sempet liat pas lagi closing opening solo. Tapi nggak jelas juga, deng. Kacamata gue mendadak burem, ngeselin,” tambahnya.

Setelah mengatakan hal itu, samar – samar terlihat dari lensa kacamatanya sosok maba yang menolongnya tadi sedang duduk memainkan gitar coklatnya di depan cafetaria tutup. Senyumnya melebar ketika mengetahui tak salah orang lagi.

“Gue udah nemu orangnya, Biet!” seru Shilla senang sambil menepuk – nepuk bahu Obiet yang sontak membuatnya tersedak. Shilla nyengir. “Hehe, sorry. Gue duluan, ya!”

Shilla langsung berlari dengan bahagianya. Tak lupa gitar ia bawa sekalian menuju sosok yang membuatnya pusing.

“Misi, Dek. Kamu yang tadi minjemin aku gitar, kan?” tanya Shilla ketika ia berhenti tepat di depan pemuda itu.

Pemuda yang sedang sibuk memetikkan kelima senar gitar coklatnya itu mendongak. Mata pemuda itu membulat dan langsung berdiri.

“Iya. Gimana? Nggak fals, kan, gitar gue?” Dalam hati, pemuda itu merutuki pertanyaannya. Jelaslah tidak fals, karena sedari gadis itu perform ia benar – benar memperhatikan.

“Nggak, kok. Makasih, lho, ya. Sumpah gue tadi kelimpungan banget mikirin bakal dievaluasi habis – habisan setelah ospek hari ini selesai.” Shilla tersenyum. Tangannya menyodorkan gitar putih tulang itu kepada pemuda yang berdiri sejajar di hadapannya.

Tentu saja disambut dengan baik oleh sang pemilik. “Gitar lo bagus juga. Bolehlah kapan – kapan kita ngomongin soal musik.” Modus lo, Gas. Pemuda itu menyindir diri sendiri. Namun tetap saja ia tersenyum.

Shilla mengangguk – ngangguk. “Boleh juga, deh. Oke. Sekali lagi thanks buat pertolongan lo.” Ia tersenyum lebar hingga memunculkan gigi gingsulnya.

Pemuda itu menatap kepergian Shilla hingga punggung gadis itu menghilang menuruni tangga. Ia tersenyum tipis.

“Nama gue Bagas, Shil. Semoga kita bener – bener bisa ketemu lagi.”

***

Dhea A.
Rabu, 05 Juli 2017
00.55 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Suatu Ketika (Puisi)

Memoria (Cerpen)

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis dengan teori struktural!