Memoria (Cerpen)


Memoria

Alvin bersikap tak peduli mendapati profil samping seorang gadis berjongkok dengan payung menutupi dari belakang. Namun seketika berubah penasaran kala payung itu terbang dan membasahi kebergemingan sosok menelungkup di kedua lutut itu.

Hujan.
Rintik-rintik deras itu menimbulkan decakan ketidaksukaan dari seorang pemuda yang sedang berdiri menumpu siku di pembatas lantai tiga kampus. Pikirnya, rintik itu bagaikan pasukan tentara yang siap menyerang dan melumpuhkan.

Payung.
Alvin yang masih pada posisinya memperhatikan seonggok payung putih transparan menaungi seorang perempuan yang berjongkok, menyembunyikan wajah pada lipatan tangan. Profil samping yang sama sekali tidak menarik minat Alvin untuk penasaran lebih jauh.

Gadis.
Lagi, pasukan air itu menumpah ruah siang pukul dua menemani langit mendung dan mengundang semilir angin dingin. Dengan menghembuskan nafas kesal, ia berjalan menyusuri koridor sepi lantai satu kampus menuju parkiran motor, menyelamatkan helm yang sekiranya sudah basah ditimpa hujan sejak satu jam lalu.
Tetes hujan menyentuh rambutnya. Ck, merepotkan, bergegas menapaki tanah berlumpur melewati taman kanak-kanak sekaligus tempat magang jurusan PGSD.
Dan lagi, menemukan gadis berambut lurus sebahu berpayung putih transparan. Kali ini duduk pada salah satu ayunan. Perempuan itu menunduk memperhatikan sepasang kakinya yang bergerak pelan.
“Ayo, Alvin. Lewati. Abaikan saja.”
Kunci motor yang terjatuh dengan tidak elitnya otomatis mengacaukan rencana. Alvin terpaku, begitu juga si gadis, tepat memandang kunci motor di dekat ujung kakinya.
Uluran tangan beserta kunci motor berbandul kepala Kumamon terayun di depan wajah Alvin, tanpa tahu ada iringan senyum lebar di sana. “Lain kali perhatikan langkahmu.”
Alvin mengalihkan fokus pada si pemilik senyum lembut. Tanpa suara, tanpa gerakan berarti, apalagi kata terima kasih terlontar, ia menyongsong kunci itu dan berlalu diiringi gerutu kesal karena membiarkan air hujan yang menyerbunya menjadi saksi bersemuka pertama mereka.

Nama.
“Hm? Kau yang memiliki gantungan kunci Kumamon?”
Telunjuk lentik si Gadis Hujan berhasil menebalkan topeng Alvin untuk menyembunyikan diri dari cekikikan sahabat karibnya.
“Jadi kau mengenal si dingin ini?” seloroh Rio tanpa rasa bersalah dan disambut cekikikan yang sama dari Gadis Hujan.
“Namaku Shilla,” ucapnya tersenyum lebar dengan eyesmile mengagumkan, kala Rio menanya perihal identitas umum.

Kumamon.
“Hei, Kumamon!”
Otomatis, Alvin menghentikan langkah mencegah tubrukan akibat ketergesaan Shilla berlari dari arah depan. Tanpa payung dan tanpa ekspresi yang sulit ditebak.
“Ck! Berhenti memanggilku seperti itu!”
Cengiran kuda itu membalas ringan decakan tak suka secara terang-terangan.
“Suka-suka. Lagipula, nama Alvin terlalu bagus untukmu.”
“Dan lagipula, kita tidak sedekat itu untuk saling menyapa nama,” balas Alvin berlalu tak peduli.

Tangis.
Masih di posisi saat itu, kali ini dengan tubuh bergetar tanpa sebuah benda putih transparan melindungi dirinya. Tundukan kepala itu sudah cukup menjelaskan keadaan si Gadis Hujan itu, apalagi ketika sesekali mendongak memperlihatkan wajah yang basah tertutup poni pendek.
“Lain kali jangan sampai tertinggal payung andalanmu.” Alvin, memperingatkan dengan nada dingin, sambil memayungi Shilla dengan payung biru pinjaman untuk dipergunakan menuju gedung seberang.
Sampai mata bulan sabit Shilla mengekori punggung yang kini basah itu berlari kecil, menjauh, meninggalkan payung biru beralih digenggamannya.

Ayunan.
“Terima kasih.” Lugas Shilla. Tersenyum bahagia berhasil mencegat langkah Alvin di tempat awal pertemuan mereka.
Disambut kernyitan samar di dahi Alvin, menanyakan betapa ragamnya ekspresi dan perubahan drastis yang dimiliki oleh Shilla. “Itu milik satpam.”
“Ah, benarkah? Okay, kukembalikan nanti.” Memilih memasukkan lagi ke dalam ransel.
Yang membuat keterkejutan, gerak refleks Shilla yang menarik jaket hitam Alvin dan mengarahkan untuk duduk di ayunan satunya. Berwarna kuning mencolok membuat Alvin sedikit berjengit, Shilla tak menghiraukan dan menyamankan diri di ayunan sisi kanan. Berwarna hijau pudar.
“Bantu aku untuk menghabiskan bekal.”
Sontak, Alvin melemparkan delikan tajam. “Apa maksudmu? Menurutmu aku punya waktu untuk hal ini?”
“Punya.” Singkat. Terlalu fokus pada kotak bekal biru gelap dan sushi sebagai isi kotak. Mengambil satu suapan lalu menyodorkan pada Alvin.
“Ck, sudah kubilang–”
Namun pelototan mata yang terbiasa terlihat menyipit menggemaskan itu kini mendelik tajam. “Ambil!”
Dan entah kenapa, Alvin akhirnya memilih menuruti untuk memasukkan satu suapan juga.

Mendung.
“Bukankah mendung itu membingungkan?”
Membingungkan dirimu sendiri karena memilih tetap diam memakan bekal di penghujung hujan lebat, desis Alvin tertahan.
“Mendung bukan berarti hujan. Bukan berarti juga memberikan kepastian kalau langit cerah yang akan menggantikan.”
Menyebalkan. Merutuk dalam benak dengan alibi menghabiskan sushi buatannya tiga sekaligus disatu suapan.

Favorit.
“Aku tidak butuh payung!” seru Shilla masih menyembunyikan wajah.
Alvin mendengus. “Lagipula siapa yang akan meminjamkan payung pada orang yang berkali-kali tetap duduk di ayunan dalam keadaan hujan deras. Bodoh itu namanya.”
“Aku memang bodoh.” Meski didominasi oleh suara hujan, masih terdengar kalimat itu di telinga.
“Hentikan tangisanmu.”
Tidak dirasakannya lagi hujaman air hujan pada tubuhnya. Sontak, Shilla mendongak. Mendapati sepasang mata tajam membalas tatapan sendu miliknya. Bahkan pemilik mata tajam itu sendiri kemudian merutuk betapa rasa simpati seketika hadir. “Sudah kubilang aku tidak butuh payung!”
“Aku hanya memerintah untuk menghentikan tangisanmu. Ternyata kau benar-benar bodoh.”
“Ck!” Shilla mendengus. “Siapa yang bilang aku menangis?”
“Aku,” balas Alvin santai. Tak pedulikannya dingin akibat payung yang berpindah haluan mulai menusuknya. “Terlalu jelas. Setidaknya kalau pun kau menyukai hujan, jangan sangkutpautkan dengan masalah pribadimu.”

Rasa.
“Mungkin hanya orang sepertiku yang dapat dikategorikan buta rasa,” kata Shilla, disuatu hari yang cerah di sepasang ayunan hijau dan kuning. Menikmati sekotak bekal berisi sushi.
“Buta rasa seperti apa yang kau maksud?” Alvin yang lagi-lagi dipaksa untuk membantu menghabiskan bekal.
Satu suapan. “Orang bodoh.” Mengangguk dan diikuti suapan kedua. “Masih berkenan menunggu sesuatu hal yang tak pasti. Yang mungkin saja berhasil dibohongi tanpa disadari.” Suapan ketiga beserta satu tetes air mata terjatuh. “Dan dengan bodohnya masih mencintainya sepenuh hati.”

Kebenaran.
“Sudah kubilang hentikan tangismu!” Tak habis pikir, Alvin menggeram marah menyaksikan tubuh Shilla bergetar di ayunan hijau pudar.
Kau tahu? Selama ini aku berusaha mengabaikan eksistensimu. Hanya ada satu alasan. Aku membencimu, karena mengingatkanku pada mantan kekasihku. Sesimpel itu.”
Selepas itu, Alvin berlalu. Tidak mengizinkan Shilla untuk berucap sepatah kata pun.
“Dan sesimpel itu juga kau meruntuhkan pertahananku secara perlahan.”

Alasan.
Alvin tak tahu lagi harus bagaimana menyikapi Gadis Hujan yang kembali menyapa. Tidak di ayunan, tetapi pertemuan tak sengaja di koridor lantai tiga. Meski menolak kehadiran gadis itu, pada akhirnya mereka berakhir menumpukan siku masing-masing pada pembatas, sama-sama memperhatikan lalu-lalang mahasiswa di bawah sana.
“Maaf kalau aku mengingatkanmu akan mantan kekasihmu. Aku tidak tahu di mana letak kemiripan itu, yang jelas aku merasa tidak nyaman ketika kau marah kemarin.”
Hanya dibalas helaan nafas.
“Aku memang orang bodoh itu. Aku memang orang yang suka menyangkutpautkan kesukaanku pada hujan dengan masalah pribadi. Jadi kurasa kau tidak perlu sering berempati dengan memberiku payung ketika aku dengan sengaja hujan-hujanan.”
Nah, kan? Ditambah satu lagi list alasan mengapa Alvin harus tidak sesering mungkin bersemuka dengan Shilla.
“Jadi, bisa beri alasan atas instruksimu?” Agar suatu hari nanti aku bisa mengabaikanmu.
“Kukira dia akan kembali lagi menemuiku di sini. Kukira dia akan mengingat tempat ini. Tapi ternyata hanya aku yang menikmati hujan sendiri.”
Entah untuk alasan apa, Alvin membiarkan pertanyaannya dibalas dengan jawaban yang masih rancu. Dan untuk pertama kali, Alvin membiarkan waktu terbuang untuk keheningan panjang setelahnya.

Instagram.
“Shilla Zahrantiara?” beo Rio masih fokus pada salah satu username pada media sosial bertajuk ‘Instagram’, mengetukkan gigi atas pada gigi bawah berulang-ulang, membuat telinga Alvin terasa kebas mendengarnya.
“Aku baru ingat. Dia dari jurusan Psikolog. Semester...” Untuk apa, Alvin? Informasi seumum itu sudah terbaca pada identitas akun.
“Hmm, sekarang aku ingat. Dia dulu cukup terkenal di fakultasnya. Tentunya bersama kekasihnya yang kutahu menjadi mahasiswa transfer di Australia. Seharusnya sudah kembali mengingat sudah habis waktu. Tapi ditarik lagi ke sana,” ujar Rio santai. “Ah, kita lihat akun kekasihnya itu.”
Rio menyentuh akun tag pada salah satu postingan foto Shilla. Muncullah sebuah akun bernama Gabriel Stevent Damanik. Postingan foto paling atas bagaikan shock therapy bagi keduanya.
“Kurasa sekarang kita tahu kenapa kau melihat Shilla terkadang sedang menangis.”

Kebetulan.
“Jujur, ketimbang kau yang senang berhujan-hujanan di setiap waktu, aku memilih membenci kesukaanmu itu.”
Ayunan lagi? Kurasa itu jawaban yang benar.
“Apa ada kaitannya dengan mantan kekasihmu itu?”
Alvin mengangguk. “Dia sangat menyukai hujan. Sepertimu.”
Shilla justru terkekeh. “Bukan aku yang menyukai hujan. Tetapi dia-yang mungkin bisa kusebut mantan kekasih juga?-sangat menyukai hujan. Katanya rintik yang jatuh bisa jadi inspirasi bermusiknya.”
Hening.
“Kebetulan, hm?”
“Entahlah. Pada intinya, masing-masing dari kita harus saling merelakan apa yang terjadi di masa lalu.
Dan kenapa harus hujan yang menjadi jembatan perkenalan di antara mereka?

Tiga.
“Kau menyukainya?” kejar Rio tersenyum menggoda.
“Entah. Setelah mendengar kisahnya darimu, tiba-tiba aku merasa ingin melindunginya sekaligus menyembuhkan lukanya.” Mata Alvin menerawang, menatap kosong papan tulis.
“Juga buat dia lupa akan eksistensi Gabriel di hatinya,” lanjut Rio. “Jangan buat dia lupa akan memoria bersama Gabriel, karena itu kenangan satu-satunya. Harus kau ingat, kenangan itu hanya masa lalu. Jadikan kau calon kenangan masa depannya.”

Dua.
Hujan mengguyur lagi. Kali ini, Alvin berdiri di hadapan Shilla, membiarkan menangis terduduk di ayunan. Tanpa berniat meminjamkan payung lagi.
“Aku mohon, berhenti menangis untuknya.” Alvin berlutut. “Lupakan. Ayo menulis memoria baru bersamaku. Relakan masa lalu.”
Dan Shilla seketika melambatkan laju sedu sedannya.

Satu.
Mendung bukan berarti hujan.
Itu kata Shilla kala mata mereka menangkap awan gelap mendominasi langit siang pukul dua itu. Alvin berdecih menambahi.
Tetapi secara otomatis hatimu menginginkan hujan datang setelahnya.
Tidak peduli bahwa mereka bukan termasuk bagian orang yang disebut pluviophile karena tidak menyukai dari hati, pada akhirnya perlahan mereka menyadari ada sisi itu. Shilla yang menyukai hujan karena mantan kekasihnya, dan Alvin yang turut menyukai hujan karena Shilla menyukainya.
Terkadang, sesederhana itu cinta ada.
“Berani hujan-hujanan?”
***
Dhea A.
Minggu, 25 November 2018
01.31 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Suatu Ketika (Puisi)

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis dengan teori struktural!