Tentang Hujan, Cerita, dan Kenangan (Cerpen, Oneshoot IC 2)
Tentang Hujan,
Cerita, dan Kenangan
Pulang ke kotamu ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri ditelan deru kotamu
Walau kini engkau telah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
11 Mei 2016
“Kenapa lo nyuruh gue nyanyi lagu ini?” tanya Obiet setelah sebuah lagu request dari Oik berhasil ia nyanyikan.
Oik yang sejak awal hanya terdiam dan mengamati pergerakan jari-jari Obiet
memetik gitar dengan lincah menjadi sedikit tersentak dan mengalihkan
perhatiannya pada pemuda yang duduk menyila di depannya.
“Nggak apa-apa. Seneng aja denger lagu itu,” jawab Oik tersenyum kecil. “By the way, suara lo tetep keren. Kapan-kapan nyanyiin lagu ini lagi
buat gue, ya!”
“Ogah!” cetus Obiet spontan, gitar ia taruh di sebelahnya menyender dinding.
Oik cemberut. “Gue bukan radio punya lo!”
Oik semakin menyipitkan matanya yang sudah sipit. “Lo mah
gitu. Nggak asik, lo!”
“Hahaha...” tawa Obiet membahana membuat Oik semakin mengerucutkan
bibirnya. Melihat ekspresi gadis di depannya ini yang menurutnya lucu, ia
langsung mengangkat tangannya dan mengusap puncak kepala Oik lembut. “Iya, deh,
kapan-kapan. Yuk, gue anterin lo pulang.”
Obiet berdiri mengenakan tasnya lalu mengambil gitar coklatnya, tanpa menghiraukan raut gadis yang bersamanya di sini. Ia menunduk, heran melihat Oik masih duduk menyila dan hanya menatapnya kosong. “Kok diem? Sebelum gue berubah pikiran, Ik.”
Oik tersadar. Dengan cepat ia berdiri membersihkan celananya dari debu dikarenakan mereka duduk di lantai depan ruang perkuliahan. Ia menatap punggung Obiet yang sudah berjalan mendahuluinya. Ia menghela nafas berat sebelum mengikuti langkah pemuda berwajah manis itu.
“Maafin gue. Lagi.”
Obiet berdiri mengenakan tasnya lalu mengambil gitar coklatnya, tanpa menghiraukan raut gadis yang bersamanya di sini. Ia menunduk, heran melihat Oik masih duduk menyila dan hanya menatapnya kosong. “Kok diem? Sebelum gue berubah pikiran, Ik.”
Oik tersadar. Dengan cepat ia berdiri membersihkan celananya dari debu dikarenakan mereka duduk di lantai depan ruang perkuliahan. Ia menatap punggung Obiet yang sudah berjalan mendahuluinya. Ia menghela nafas berat sebelum mengikuti langkah pemuda berwajah manis itu.
“Maafin gue. Lagi.”
***
12 Mei 2016
Suara samar-samar ketukan pulpen pada meja terdengar seirama dengan tempo
yang tepat. Ya, tepat dan sejalan dengan penjelasan dosen di depan sana.
Ketukan itu perlahan menghilang seiring terangkatnya tangan kanan. Oik
menghembuskan nafas lelah. Tangan kanannya itu kini beralih pada dagunya,
menopang kepalanya pada meja. Ia tidak bosan, serius. Bahkan ini mata kuliah
yang selalu ditunggu setiap minggu. Namun karena ia memikirkan sesuatu sehingga
apa saja yang sedang ia hadapi menjadi bentuk mozaik yang tak beraturan di matanya.
“Mungkin perkuliahan ini sampai disini dulu. Sampai bertemu lagi
dipertemuan berikutnya. Dan jangan lupa kumpulkan tugas dari saya tadi. Terima
kasih.”
Ini yang paling penting dari penantiannya hari ini. Tanpa menunggu apa pun,
ia langsung memasukkan buku beserta alat tulisnya yang hanya pulpen hitam ke
dalam tas. Gerakannya terhenti sejenak. Tunggu, tugas? Astaga, ia melewatkan
hal yang satu ini!
“Pulang woy! Ngelamun mulu lo gue perhatiin dari ta–”
“Obiet! Tadi ada tugas apaan? Gue nggak denger seriuuusss,” sela Oik cepat
dengan menyodorkan raut mengenaskan yang ia miliki.
Pemuda yang berdiri di sampingnya hanya menatapnya heran dan rautnya
mengatakan: “Udah gue duga!” Tanpa
merespon pertanyaan Oik, ia melangkah santai keluar kelas. Tentu saja hal itu
sedikit membuat Oik sebal. Toh, ia
tetap mengikuti langkah Obiet.
“Ayolah, Biet. ‘Kan gue cuma tanya soalnya doang, nggak sampe tanya
jawabannya sekalian,” rengeknya.
Obiet berhenti melangkah secara tiba-tiba membuat Oik yang berjalan tergesa-gesa
menyamakan langkah cepat Obiet seketika menubruk tas punggung Obiet-yang
kebetulan-berisi laptop. Ia mengusap-usap keningnya sambil mengaduh dan diam-diam
merutuk pemuda di depannya ini yang berhenti seenaknya.
Pemuda itu membalikkan badan dan nyengir kuda melihat wajah masam Oik.
“Nanti, deh. Gue Line lo nanti
malem.”
“Kenapa nggak sekarang aja, sih? Ribet amat, deh. Lo modus, kan, biar ntar
malem lo ada alasan buat chat gue?”
tuduh Oik sinis.
Tanpa menunggu detik, Obiet langsung melayangkan ponselnya dan mendarat
mulus di kepala Oik yang sekali lagi mengaduh. “Sotoy! Siapa suruh lo
ngelamun?”
“Manusiawi, elah!”
“Alesan,” cibir Obiet. “Gue anterin lo pulang.”
Oik mengernyit. “Bukannya lo harus ke basecamp,
ya? Ada rapat pembuatan Laporan Pertanggungjawaban, kan?”
“Masih ada waktu dua puluh menit. Yuk.”
“Nggak usah,” tolak Oik sambil mengibaskan sebelah tangannya. “Gue sering
banget ngerepotin lo. Lagian gue juga mau ke minimarket beli tiket kereta buat
pulang besok.”
Oik memperhatikan ekspresi Obiet setelah ia mengatakan bahwa ia akan pulang
setelah hampir dua bulan lamanya ia tak menyapa kota kelahirannya. Mata pemuda
itu menerawang jauh.
“Udah, ya, gue duluan. Bye, Biet,
semangat rapatnya,” lambai Oik sambil berjalan menuju lift di ujung koridor.
Langkahnya ringan tanpa menoleh ke belakang lagi. Tanpa memastikan kelanjutan
ekspresi teman dekatnya.
*
Getaran halus dan berkepanjangan di samping kepalanya sedikit membuat Oik
sebal. Pukul sebelas. Ia menengok sekilas jam dinding yang tertempel pada
dinding tepat di depannya. Ia mendengus. Siapa yang tega mengusik tidurnya
dengan telepon?
Tangan kirinya menjelajah samping kepalanya dengan sembarang. Ia benar-benar
lelah, sungguh. Setelah berjam-jam lamanya menata hatinya yang tadi siang
sempat berantakan dan akhirnya bisa tertidur juga. Bahkan Line berisi tugas dari Obiet ia acuhkan.
Ia mendudukkan dirinya dan menatap lekat layar ponselnya. Sebuah panggilan
melalui Line masuk. Agni calling...
Dengan mata yang sayu minta tidur, ibu jarinya menggeser tombol hijau dan
segera menempelkan ponselnya pada telinga. Sekian detik ia terdiam, keheranan
ketika telinganya tak menangkap suara apa pun. Ia melihat layar ponselnya dan
tersentak.
Di sana terpampang profil seseorang yang melekat diingatannya.
Oik mencengkeram ponselnya kuat dan menatap tajam seseorang di sana yang
tersenyum menyapa padanya. Sebelum ponselnya benar-benar hancur digenggamannya,
ia langsung mematikan sambungan. Air matanya jatuh.
Panggilan kembali muncul di layar ponselnya. Awalnya ia tak berniat
menjawabnya, tetapi salah satu jarinya tak sengaja menggeser tombol hijau. Ia
merasa jantungnya berhenti berdetak karena hal ini. Namun kali ini hanya
panggilan biasa via Line.
“Ik, kenapa lo matiin–”
“Gue udah bilang beberapa kali sama lo kalo nggak usah vidcall gue?!” teriak Oik. Suaranya kini serak menahan tangis yang
entah kapan akan meluncur.
“Maafin gue, Ik. Gue–”
“Lo tahu, kan, Ag? Lo tahu, kan?!” Ia tak bisa menyembunyikan lagi isaknya
meski masih ditahannya mati-matian.
Hening. Dari dua pihak sama-sama kehilangan suaranya. Pikiran mereka
menerawang entah telah jauh hingga kemana.
“Sorry, gue tutup dulu.”
“Ik, gue cuma kangen sama lo–”
Sambungan benar-benar terputus. Ia melemparkan ponselnya ke sampingnya.
Kalimat terakhir dari sahabatnya membuatnya sesak. Air matanya jatuh lagi. Maafin gue, Ag. Gue belum bisa nolak
kenangan itu dateng lagi.
Disisa malamnya itu, ia habiskan untuk mengeluarkan air matanya, lagi. Kenangan
pahit itu kembali menghantui pikirannya, setelah ia bersusah payah menahannya
sejak sebelum tertidur.
***
13 Mei 2016
Pukul tujuh pagi. Oik masih terduduk di atas kasurnya. Wajahnya benar-benar
menyedihkan: bekas air mata di kedua pipi tembamnya, mata panda yang semakin
muncul, rambut sebahu yang berantakan, serta tatapan kosong.
Setelah kejadian semalam, ia benar-benar tak dapat memejamkan matanya.
Kenangan itu terus saja menikamnya, membuatnya terus saja menjatuhkan air matanya.
Baiklah, ia beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi. Ia harus menyadarkan
dirinya. Dan syukurlah ia masih mengingat jika hari ini ia ada kuliah pagi.
Pukul delapan pagi. Gadis itu kini telah siap dengan segala sesuatunya. Ia
melangkah keluar kost-nya. Bunyi decitan rem sepeda motor seketika membuatnya
tersadar dan mendongak.
“Baru aja gue mau ngajakkin lo berangkat bareng,” cengir Obiet. “Gue
khawatir, lo nggak nge-read chat
gue semalem. Biasanya, kan, lo
suka ada apa-apa kalo lo nggak nyentuh hape lo.”
Oik mendekati Obiet dan tersenyum kecil menyambut pemuda manis itu.
Ditepuknya bahu Obiet tanpa memperkirakan kekuatan. “Kebetulan. Gue emang lagi
males naik angkot.”
Tanpa menghiraukan raut sebal Obiet, ia langsung menaiki jok motor belakang
dan berteriak lantang. “Berangkat, bangjek!”
Obiet memutar kedua bola matanya. Dengan masih diselimuti rasa kesal, ia
menghidupkan mesin motor dan melaju meninggalkan gang sempit tempat Oik tinggal
sementara untuk menuntut ilmu di kota ini.
Sementara itu di jok belakang, Oik menghela nafas panjang. Ditatapnya
punggung Obiet-yang kali ini pemuda itu menaruh tas di depan-sendu dan penuh
rasa bersalah. Berulang kali ia terus mengucapkan kata-kata yang sama setiap
kali ia bersama pemuda ini.
“Maafin gue. Lagi.”
*
Suasana kelas 4E begitu ramai kali ini. Pasalnya, dosen
yang minggu kemarin marah-marah meminta tambahan jam lagi untuk hari
ini-dikarenakan waktu pertemuan yang kurang-dengan alasan pemadatan jam
mendekati UTS, ditunggu kehadirannya namun tak muncul jua. Sudah setengah jam
menunggu hingga beberapa anak yang benar-benar serius mengikuti perkuliahan
mendengus kesal. Bagi sebagian lain yang merasa sebaliknya, hanya merasa sia-sia
datang dan hanya menghabiskan parfum.
Lain lagi dengan Oik. Gadis sipit yang satu ini hanya
menelungkupkan kepalanya pada meja dan tertidur lelap, tanpa mempedulikan
betapa berisiknya kelas saat itu. Yang ia tahu bahwa sekarang ia butuh tidur.
“Ik.”
Hening. Gadis itu hanya merasa seperti ada angin melewati
telinganya.
“Oik!”
Kali ini dengan guncangan, gadis itu mengangkat
kepalanya. Ia meringis kala merasakan kepalanya nyeri karena bangun dengan tiba-tiba.
Ia menoleh ke samping, benar-benar ingin mengamuk pada seseorang yang
mengganggu tidur nyenyaknya.
“Apaan, sih? Ganggu aja,” serunya kesal, meski dengan
mata yang tertutup.
Terdengar tawa cekikikan dari seseorang yang
mengganggunya. Tentu saja hal itu membuatnya senewen.
“Heh, di sini, tuh, buat kuliah. Bukan kasur buat lo
tidur,” candanya.
“Bodo!” ketusnya. “Gue kurang tidur, nih!” Pada akhirnya,
Oik membuka mata dengan sempurna. Dan saat itu pula, ia lebih leluasa menatap
tajam seseorang di sampingnya. “Aaargh! Gara-gara lo, Biet, gue nggak bisa
tidur lagi!”
Obiet tertawa nyaring, menyaingi kebisingan yang
diciptakan teman-teman sekelasnya. Tawa itu membuat Oik semakin menggerutu.
“Ini hari kebahagiaan lo, pulang kampung. Malah lemes.”
“Lagian, niat nggak, sih, dosennya minta tambahan? Tau
gini gue beli tiket yang siang aja kemarin,” rutuknya. Dan selanjutnya,
keluarlah keluhan panjang mengenai dosen PHP tanpa mampu Obiet cegah.
“Nanti gue anterin sampai ke stasiun,” kata Obiet setelah
Oik menyelesaikan curhatan kesalnya. “Pukul tiga, kan?”
“Eh, nggak usah! Gue bisa naik taksi,” tolak Oik cepat.
Seorang teman sekelas berteriak memberitahukan bahwa
perkuliahan ditunda. Sontak semua orang bergiliran keluar kelas dengan tujuan
yang mungkin sama dengannya: pulang ke kampung halaman.
“Nggak ada penolakan, Peri Kecil tapi cerewet,” tandas
Obiet. “Nanti gue jemput lo pukul dua.”
Oik melongo mendengar penegasan dari Obiet. Meski
terkadang pemuda itu bertingkah konyol dan bertingkah seenaknya, serta-yang
paling penting-sering membuatnya kesal dan terharu dalam sekali waktu, tetap
saja pemuda itu selalu memberinya perhatian. Walau terkadang hal itu semakin
membiarkan rasa bersalah mengukung kuat hatinya.
“Oke.” Thanks.
*
“Hehe, ternyata lo beneran nganterin gue ke stasiun,”
cengir Oik memamerkan gigi gingsulnya yang mencuat di kanan-kiri.
Gadis itu memperhatikan Obiet yang hanya menatapnya kosong
dan sesekali melemparkan tatapan hampa pada kereta yang berhenti dengan gagah
di depan mereka.
“Lo kenapa, sih, Biet? Tegang amat keknya,” celetuk Oik
sambil menyikut pinggang Obiet pelan.
Obiet tersadar. Langsung saja ia tersenyum tipis pada
Oik. “Gue suka sama lo,” ungkapnya tiba-tiba.
Oik yang awalnya tertawa cekikikan mengomentari ekspresi
melamun Obiet dalam hati, seketika membeku. Ia menatap lekat mata Obiet dengan
bibir bergetar hendak mengatakan sesuatu. Bahkan penglihatannya sudah buram.
“Biet...”
“Gue tahu,” selanya menghela nafas. “Izinin gue buat
nunggu lo.”
“Jangan nunggu gue, Biet. Gue aja nggak tahu ini berakhir
sampai kapan. Lo temen terbaik yang gue miliki, pasti di luar sana ada satu
yang bakalan nyambut perasaan lo dengan tulus, nggak kayak gue.” Oik mengigit
bibir bawahnya. Hatinya benar-benar berat sekarang.
Obiet terdiam menatap manik mata Oik dan mendesah. Masalahnya nggak semudah itu, Ik.
“Kereta
dengan pemberhentian terakhir di stasiun Yogyakarta dengan jadwal pemberangkatan
mulai pukul...”
“Maafin gue.”
Pemuda itu tersentak. Meski kesekian kalinya ia menerima
jawaban itu, tetap saja membuat hatinya mencelos. Ia diam menunggu kelanjutan
kalimat gadis cantik di depannya.
“Maafin gue karena lagi-lagi nolak lo. Gue nggak mau lo
terbebani dengan kenyataan kalo gue belum bisa move on dari seseorang di masa lalu. Hal itu lebih kejam dari
penolakan cinta, kan?” Oik meminta persetujuan meski ia tahu pemuda di
hadapannya kembali menelan kekecewaan, dan itu karena dirinya. “Sekali lagi gue
minta maaf, Biet,” ucap Oik dengan suara bergetar.
Lalu-lalang orang melintas di sekitar mereka, berebut
menuju pintu gerbong kereta tanpa mempedulikan drama yang sedang terjadi dari
sekian banyak orang di sana. Kalimat dari speaker
kembali bergema di stasiun dengan tujuan memperingatkan penumpang untuk segera
memasuki gerbong sesuai tiket.
“Duh, kenapa gue jadi mellow
gini, sih?” canda Oik sambil menghapus air matanya yang sempat terjatuh. Obiet
yang melihat hal itu langsung tersenyum tipis dan mengacak pelan rambut Oik.
“Gue baik-baik aja,” kata Obiet yakin membuat Oik kembali
terjebak pada penyesalan yang berulang-ulang. “Meski lo tolak berkali-kali.”
Oik memukul lengan Obiet yang melontarkan candaan diakhir
kalimat. Pemuda itu tertawa pelan.
“Sana, gih, masuk. Ngehalangin orang mau lewat aja lo!”
Oik melotot. Namun ia tahu itu hanya candaan. “Yaudah,
gue masuk dulu, ya. Makasih udah nganterin gue ke sini.”
Obiet mengangguk. Lagi-lagi perasaan berat ini kembali
mengukungnya. “Hati-hati.”
Oik tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Angin
sepoi menyapa lembut rambut sebahunya. Matanya semakin sipit ketika tersenyum
lebar seperti itu.
Mata Obiet tak lepas mengikuti sosok gadis yang hampir
dua tahun mencuri hatinya. Gadis yang juga berhasil menyuntikkan kekecewaan
dengan alasan yang belum pernah diberikan.
Kereta berjalan pelan. Oik dengan cepat menduduki
kursinya setelah menaruh tas besarnya di atas. Ia melempar pandangannya pada
jendela di sampingnya. Sekilas, ia menangkap sosok Obiet di bangku tunggu.
Gadis itu tersenyum tipis.
“Kereta
dengan pemberhentian terakhir di stasiun Yogyakarta dengan jadwal...”
Oik menatap langit biru yang terbentang luas tanpa awan.
Akhirnya setelah sekian lama waktu ini tiba. Ia tersenyum simpul.
Kka,
kabar lo gimana? Gue udah nggak sabar buat balik. Tunggu gue, Kka. See you in
Jogja!
*
Oik turun dari kereta dengan sedikit kesusahan. Bukan
karena barang bawaan-karena kenyataannya ia hanya membawa tas kuliahnya dengan
isi seperlunya-dari Jakarta, tetapi karena banyak penumpang yang turun di
stasiun yang sama dengannya.
Gadis itu berdiri di samping gerbang keluar stasiun.
Kepalanya celingukan mencari sosok yang sepuluh menit lalu menghubunginya
melalui chat BBM. Ia mendengus.
Selalu saja seperti ini. Lupa, kan, lo?
Dengan gerakan cepat, ia langsung men-dialsalah satu nomor telepon dari kontak
ponselnya. Menunggu beberapa saat sebelum akhirnya diangkat.
“Woi, kampret. Gue udah di stasiun, nih! Kata lo mau
jemput gue?”
“Eh,
udah nyampe, ya? Bukannya lo bilang pukul delapankurangsepuluh, ya?”
Oik menggerutu. Terkadang sosok diseberang sana sifat
polosnya keluar disaat yang tak menguntungkan untuknya.
“Seharusnya lo udah di sini seenggaknya lima belas menit
yang lalu. Jadinya gue nggak nungguin lo.”
“Ogah!
Males gue nungguin di sana. Nggak tau aja, sih, lo kalo di sana banyak cowok-cowok
nakal pada nongkrong di warung seberang stasiun. Mendingan lo yang nungguin
gue.”
“Hhh–Iya. Buruan ke sini, deh! Nggak betah banget gue,”
ujar Oik yang menatap ngeri segerombolan cowok yang dimaksud sebelumnya mulai
mengalihkan tatapan mereka pada dirinya.
“Nih
gue lagi otewe.”
Oik terperanjat. “What?
Lo nyetir sambil telponan?”
Sambungan terputus secara sepihak. Oik menatap layar
ponselnya dengan tatapan tak percaya. Segila inikah kelakuan sahabatnya?
“Oik!”
Oik menoleh spontan dan mendapati orang yang ditunggunya
di halte tak jauh dari tempatnya berdiri. Sosok itu melambai-lambai ceria
dengan posisi masih duduk di jok motor. Tanpa menunggu waktu, ia langsung
berlari menghampiri.
*
“Gue kira lo udah lupa jalan pulang.”
Pletak!
“Sembarangan, deh,” sungutnya. “Lagi sibuk pemadatan aja.
Udah mendekati UTS, sih. Bilang aja lo kangen sama gue.”
“Dih, makasih banget! Cukup jemput lo dengan gratis aja
gue nahan mual.”
Oik tertawa cekikikan mendengar tuturan dari sahabatnya.
“Lah, ini gue udah traktir lo. Belum cukup?”
“Serah, Ik. Seraaah!”
Suasana ramai di sebuah kedai makanan ringan tak mampu
membuat Oik menahan tawanya yang super nyaring. Meski banyak yang
memperhatikannya dan memberikan respon tersenyum geli maupun tatapan sinis tak
ia hiraukan. Sudah lama sekali ia tak menjahili sahabat SMA-nya yang satu ini.
“Gue bercanda, elah, Ag! ‘Hari pertama’, ya?”
Agni menoleh mendengar tanya itu. “Kok lo tau?”
Tawa kembali pecah mendengar jawaban polos Agni. Benar-benar
kelewat polos sahabat di depannya ini. Agni yang sedari tadi merasa dikerjai
pun mengerucut sebal. Selalu saja ia menjadi bahan candaan untuk sahabatnya
itu.
“Jadi ketemu mantan
calon imam lo?” tanya Agni setelah pesanan mereka datang.
Oik terdiam menatap Blackpaper
Chicken Katsu yang masih mengepul. Ia mendesah. Ditatapnya Agni yang kini
sibuk mengambil gambar makanan milik gadis itu sendiri, kebiasaan remaja
sekarang.
“Besok sore, deh, kayaknya,” jawab Oik setelah menahan
perasaan sesak. “Sama lo, ya!”
Agni mendongak. “Gue hari
pertama, nih. Emang nggak apa-apa, ya?”
“Asal bisa jaga diri.” Oik mulai mengambil satu suapan.
“Lagian kalo ada apa-apa yang kena, kan, lo. Bukan gue.”
“Anjir!” seru Agni kesal. Oik tertawa lagi.
Gue
kangen sama lo, Kka. Walaupun lo nggak denger suara gue saat ini...
*
“Assalamua’alaikum.
Oik pulang,” ucap Oik sambil membuka pintu rumah. Pintu yang belum terkunci
jika waktu belum menunjukkan pukul sembilan. Dan ini hampir pukul sembilan.
“Wa’alaikumsalam.”
Sayup-sayup terdengar jawaban hingga sosok wanita paruh baya muncul, berjalan
pelan menuju dirinya. Melihat siapa yang datang, sosok itu langsung menghambur
dalam pelukan.
“Bunda, Oik pulang,” ucap Oik lagi. Sesuatu seperti menghimpit
dadanya merasakan momen seperti ini. Meski sudah menjadi kebiasaan jika ia
pulang dan bertemu bundanya, tetap saja hal ini selalu membuatnya merasa
terharu dan ingin menangis.
“Sudah makan?” tanya bundanya lembut.
Gadis sipit itu nyengir lebar. “Belum, Bun.”
Bunda menatap penuh selidik seperti detektif yang membuat
Oik nyengir lebih lebar. “Belum dua kali. Hehe.”
Bunda menggeleng geli. Beliau sangat merindukan sikap
lucu dan juga celetukan konyol yang selalu dilontarkan putrinya ketika mengobrol.
“Yuk, makan dulu. Bunda udah masakin makanan kesukaanmu.”
Mereka berjalan beriringan menuju meja makan. Benar, di
atas meja telah tersaji makanan favorit Oik setiap kali pulang ke rumah,
apalagi itu masakan bundanya, yang tentu saja tidak ada di daerah sekitar
kampus maupun kost-nya. Oik duduk di salah satu bangku setelah cuci tangan dan
mulai mengambil nasi.
“Bunda udah makan?”
“Sudah, tadi habis Isya’. Kamu makan aja yang banyak.”
Oik mengangguk dan menuruti perintah bundanya yang
sekarang beralih duduk di depan televisi. Lagipula perutnya sudah keroncongan
minta diisi.
Suasana meja makan sunyi, hanya terdengar dentingan
sendok yang tak sengaja menyentuh piring dengan keras. Kali ini ia makan
sendiri tanpa ditemani bundanya. Meski di kost pun ia juga makan sendiri,
tetapi ini beda. Ia membayangkan selama ia tidak di sini, sang bunda juga
melakukan hal yang sama. Makan tanpa ditemani siapa pun.
Semenjak kehilangan sang ayah dua tahun silam,
kehidupannya berangsur-angsur berubah. Bundanya yang memang bekerja pada
pemilik toko besar, tak ingin hanya berhenti disitu saja. Demi menyekolahkan
dirinya. Terkadang jika mengingat hal ini, tanpa sadar ia menangis tertahan.
Perjuangan bundanya sungguh luar biasa. Ia tahu, saat kehilangan ayah, bunda
hanya memeluknya dan menyemangati. Namun dibalik itu ia seringkali melihat
bundanya menangis mengingat sang ayah.
Dadanya terasa berat. Ia merasakan perasaan sesak
menghimpit dan membuat air matanya terjatuh. Sudah tak terbayangkan lagi betapa
sedih bundanya dan sangat kesepian.
Setelah tahu semua itu, dengan mudahnya ia meminta untuk
kuliah di Jakarta?
Oik merasa bersalah pada bundanya. Tak seharusnya ia
menambah beban pada bundanya. Setidaknya tetap di sisi beliau adalah sedikit
cara untuk membahagiakan orang yang paling disayanginya itu.
Dan dengan bodohnya ia hanya memikirkan perasaannya
sendiri, demi menghindari sebuah kenyataan pahit yang tak diketahui bundanya,
ia memutuskan kuliah di Jakarta, tempat yang sangat jauh dari kota
kelahirannya, kota akar kebahagiaannya. Padahal sudah sangat jelas di
Yogyakarta banyak universitas yang tak kalah bagus dari Jakarta.
Oik menatap bundanya yang sedang serius menonton acara di
salah satu channel di televisi. Ia
berbisik lirih.
Maaf,
Bun. Oik egois. Kasih Oik waktu untuk menata hati Oik...
***
14
Mei 2016
Pukul tiga sore. Dengan malas ia terbangun dari mimpi
indahnya. Tidur siangnya harus terpotong ketika mendengar alarm dari ponselnya.
Dengan langkah terseok, ia keluar kamar setelah sebelumnya mematikan kipas
angin yang berdiri di dekat pintu.
Tangannya meraih ponsel yang menunjukkan notifikasi BBM.
Hanya dari Agni. Ia putuskan untuk membuka nanti dan lebih memilih ke
kamar mandi untuk membersihkan diri.
*
Pukul empat sore. Ia telah mengeluarkan motor matic dari garasi kecil dan beralih
mengunci pintu rumah. Bundanya kemungkinan pulang habis Maghrib karena
menjenguk bayi tantenya di desa sebelah yang tiga jam lalu lahir. Hmm, satu
hari pasti ada yang datang dan juga ada yang pergi. Sebuah hukum alam yang
sudah semestinya terjadi di dunia ini.
Ia mengambil ponsel sebelum menyalakan mesin motor,
berniat menghubungi seseorang.
Tuut... Tuut...
“Halo, Ag? Gue mau on
the way, nih. Lo udah siap belum?”
“Udah
siap wal ‘afiat gue, Ik. Eh, gue lagi males bawa motor, nih. Gue nebeng lo, ya!
Lagian, kan, searah.”
“Hhh–iya, deh. Tunggu gue di depan gang. Awas kalo lo
nggak di sana.”
“Iyaaa.”
Sambungan terputus. Tanpa menunggu waktu, ia segera
tancap gas dan pergi meninggalkan rumah.
*
“Lo udah siap?” tanya Agni memastikan. Melihat sahabatnya
yang menatap penuh kesedihan pemandangan di depan mereka. Wajahnya seketika
pias membuat Agni menatapnya sedih.
Oik mengangguk setelah menghela nafas panjang.
Digenggamnya erat dua tangkai mawar putih dengan perasaan sesak.
Mereka berjalan beriringan menjajaki jalan setapak dengan
rumput di sisi jalan. Angin berhembus membawa aroma khas bunga yang sedang
bermekaran di sini. Dan ia berharap, angin tak keberatan membawa pergi kesedihannya.
Sampailah mereka pada salah satu gundukan tanah diantara
sekian banyak gundukan tanah di sana. Sebuah makam sederhana dengan nisan yang
berdiri kokoh. Oik berjongkok di samping makam, mengelus nisan bertuliskan
‘Cakka Kawekas Nuraga’ dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan.
Betapa kacaunya perasaannya kini. Berulang kali kakinya
membawanya kemari, dan selalu melirihkan harapan besar. Harapan bahwa gundukan
tanah di depannya tidak ada. Harapan bahwa ketika melihat tulisan yang tercetak
jelas di batu nisan, bukan nama itu yang tertulis. Namun meski satu tahun
berlalu, nama itu tak pernah berubah, tetap menjadi pemilik makam di depannya.
Oik terisak lirih. Teringat semua memorinya bersama
pemuda yang dulu berdiri tegap di hadapannya, kini telah berbaring di dalamnya.
“Hai, Kka. Gue dateng lagi,” ucapnya terisak. “Apa kabar?
Gue kangen sama lo...”
Cakka, pemuda tampan dengan pembawaan tenang merupakan
adik kelasnya semasa SMA. Ketika pertama kali melihat pemuda itu, ia langsung
terkesima, meski saat itu Cakka yang dilihatnya mengenakan seragam yang salah, saat itu hendak memasuki UKS.
Meski kakak kelas, Oik tak pernah mempersalahkan hal ini.
Ia mempunyai pemikiran kuat bahwa Cakka ialah sosok yang dikirimkan Tuhan
untuknya, sebagai pengisi hatinya, dan juga pendampingnya hingga kelak.
Walaupun semua orang tahu Cakka sosok pemuda yang sukar ditaklukkan, namun Oik
tetap membantah dengan memperjuangkannya. Ya, meski tanpa ada sapa basa-basi
yang menghubungkan keduanya.
Agni yang berdiri di belakang membiarkan Oik terdiam dan
terisak mengarungi kenangan masa lalu. Ia tahu semuanya. Perjuangan dan
pengorbanan yang dilakukan sahabatnya kala itu untuk Cakka, meski seringkali
diacuhkan.
Setahun lebih Oik bertahan dan tak ada kemajuan apa pun.
Bukan karena ia masih memperjuangkan, tetapi sesering apa pun ia berusaha
menghindari Cakka dan tak jarang membuka hati pada pemuda kelas sebelah yang
mulai mendekatinya, tetap saja sosok Cakka masih berkeliaran di benaknya. Saat
itu juga ia tersadar. Bahwa sekuat apa pun ia melupakan Cakka, jika mereka
masih dalam satu lingkup sekolah yang sama hal itu tak berarti apa-apa.
Menjelang ujian nasional, ia dikejutkan kabar dari Agni
jika Cakka sakit hingga sampai dibawa ke rumah sakit. Oik yang bukan siapa-siapanya
hanya bisa terpaku dan menahan keinginan untuk menjenguk.
Dihari kelulusannya, Oik tak sengaja berpapasan dengan
Cakka di depan masjid selepas pemuda itu menunaikan sholat Dzuhur. Oik yang tak
mengira masih bisa bertemu dengan Cakka tentu saja terkejut dan hanya bisa
membulatkan matanya yang sipit. Mereka bertatapan. Ingin sekali Oik mengucapkan
sesuatu pada pemuda berseragam putih abu-abu yang berdiri terdiam di
hadapannya.
“Cakka,
gue minta maaf sama lo,” ucap Oik menunduk. Hanya kalimat itu yang berhasil
lolos.
Oik
mendongak melihat reaksi Cakka. Pemuda di hadapannya menunjukkan ekspresi
terkejut dan rasa tak enak hati.
“Maaf
kenapa, Kak?”
“Buat
semuanya. Gue tahu gue cewek yang nggak tahu malu banget. Maafin gue kalo hal
itu buat lo ngerasa terbebani. Gue janji nggak akan ganggu lo lagi, kalo itu
selama ini yang lo rasain kalo ada gue di deket lo...”
“Eh,
nggak apa-apa, Kak. Aku nggak ngerasa gitu,” potong Cakka sopan. Ia merasa tak
enak hati pada kakak kelas di depannya.
Oik
tersenyum. Entah kenapa, lega sekali setelah mengeluarkan semua bebannya.
Apalagi setelah mendengar jawaban dari Cakka. “Makasih, Kka. Tolong lupain
semua yang buruk tentang gue, kalo perlu lo lupain gue juga nggak apa-apa,”
canda Oik. Dan semakin terpaku melihat Cakka tersenyum kecil karenanya.
“Sama-sama,
Kak. Maafin aku juga karena kurang ramah sama orang sekitar,” kata Cakka
tenang.
“Yaudah.
Kalo gitu kita salaman sebagai bentuk penyelesaian dan juga perpisahan.” Oik
mengulurkan tangan kanannya sambil tersenyum manis. Cakka menyambutnya dan
balas tersenyum.
“Semangat,
Kak. Perjuangan Kakak masih panjang. Aku doain Kakak selalu bahagia dan sukses
terus ke depannya.”
Oik menunduk membiarkan air matanya turun membasahi tanah.
Itu terakhir kalinya ia bertemu dan berbicara langsung dengan Cakka. Dan itu
sudah dua tahun berlalu, bukan?
Tangannya menghapus air matanya yang mengalir deras di
pipinya. Ia sampai lupa pada dua tangkai mawar putih yang dibawanya. Ia
meletakkan bunga itu menyender nisan.
“Bunga kesukaan gue,” lirih Oik. “Dan parahnya gue baru
tahu setahun yang lalu kalo bunga itu kesukaan lo juga.”
Agni berjongkok lalu menyentuh bahu Oik lembut, memutus
lamunan sahabatnya. “Kenapa lo kesini cuma disaat tanggal kepergian Cakka, Ik?
Kenapa cuma setahun sekali lo kesini?”
Oik menoleh dan kembali terisak. “Gue bingung, Ag. Gue ngerasa
nggak enak kalo kesini setiap minggu, sedangkan gue bukan siapa-siapa di sini.”
“Ik,” tegur Agni. “Lo nggak boleh kayak gitu–”
“Nggak, Ag. Tetep aja beda,” kilah Oik serak. Ia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh Agni.
Gadis sipit itu melirik jam tangan biru yang melingkar di
pergelangan tangan kanannya. Ia tersenyum hambar dan berdiri
yang sontak diikuti oleh
Agni. “Pulang,
yuk! Udah hampir setengah enam.”
Benar saja. Sang surya telah condong ke barat, kembali ke
peraduan. Sinar jingga mulai muncul malu-malu mengikuti pergerakan matahari.
Meski Oik melakukan hal yang sama dengan matahari, yaitu pulang, namun Agni
masih bergeming berdiri di samping makam.
“Ag?”
Agni yang hanya menatap nanar makam di depannya seketika
menoleh dan tersenyum tipis. “Lo duluan, Ik. Gue mau ngomong bentar sama
Cakka.”
Oik mengernyit dan mencoba bercanda. “Hati-hati, Ag. Ini udah
hampir Maghrib, nggak baik sendirian
di sini.” Setelah itu, ia berbalik dan mencoba menahan diri untuk tidak ikut
campur apa yang akan dilakukan oleh sahabatnya.
Setelah meyakini Oik tak berada di dekatnya, Agni kembali
berlutut di samping makam Cakka dan bergumam lirih.
“Ternyata gue baru tahu kenapa kalian dipertemukan.” Agni
tersenyum kecut. “Lo emang nggak salah suka sama Oik, kakak kelas lo, disisa
akhir hidup lo. Oik bener-bener cinta sama lo. Lo tetap hidup di hatinya,
sampai kapan pun itu, Kka.”
Seketika, sepintas memori terakhir itu berkelebat dalam
benaknya.
“Woe, Ag. Buruan. Gue ngeri, nih, di sini!”
Agni berdiri dan menepuk nisan. “Selamat jalan, Kka. Gue
sama Oik di sini akan selalu doain lo.”
Senja perlahan muncul. Agni berbalik meninggalkan makam,
menghampiri seseorang di depan gapura.
***
15
Mei 2016
Cuaca panas siang hari tak menyurutkan acara nostalgia
yang selalu dilakukannya setelah mengunjungi makam Cakka. Dengan memantapkan
hati, ia mulai melangkah pelan menyusuri koridor sekolah.
Suasana sangat sepi dikarenakan ini hari minggu. Pintu-pintu
ruang kelas tertutup rapat, entah itu terkunci atau hanya menutup saja karena
kunci pintu sudah rusak. Sepanjang perjalanan, mata sipitnya mengamati apa-apa
saja pada sudut sekolahnya, barangkali ada yang berubah setahun belakangan ini.
Angin berhembus mengibarkan rambut sebahunya yang kini
telah berganti warna menjadi kecoklatan. Tak sadar, langkahnya telah sampai di
depan pintu kelas XII IPA 1. Ia menatap ke depan. Masih ada lima kelas lagi
yang harus ia lampaui untuk menuju kelasnya dulu.
Berdiri di depan kelas XII IPS 1 sembari menatap pintu
kelas berwarna krem. Tangannya mengusap pintu perlahan sembari mengingat masa-masa
SMA-nya dulu bersama teman-teman yang hebat selama tiga tahun. Kini ia beralih
bersandar pada pintu itu dan menatap ke depan, pada lapangan tengah sekolah
dengan rumput hijau yang tumbuh lebat. Tak berselang lama, tatapannya beralih
ke kiri, pada salah satu ruang kelas di sudut nun jauh di sana. Seperti
terhipnotis, ia melangkah menghampiri melewati lapangan sekolah.
“Liat,
deh,gaes! Cakka kalo lagi maen futsal gitu keren. Lama-lama bisa mimisan gue.”
Oik terus berjalan menginjak rumput yang basah tersiram
gerimis pagi tadi.
“Itu
Cakka yang jadi pemimpin upacara? Anjir, nggak salah gue pilih gebetan.
Berkualitas!”
Angin perlahan menghembuskan luka-luka kepedihan di
hatinya hingga kembali terasa.
“Buat
Kakak. Maaf cuma bisa ngasih ini padahal Kakak udah ngasih aku yang lebih dari
ini.”
Oik mencengkeram kuat pergelangan tangan kanannya,
tepatnya pada jam tangan birunya yang masih berdetak.
“Ini
bukan penembakkan, Kka, tapi pernyataan. Jadi sebelum gue bener-bener ninggalin
sekolah ini, gue mau bilang sama lo. Gue udah suka sama lo dari pertama gue
liat lo di depan UKS.”
Air matanya terjatuh. Perasaan sesak kembali menyelimuti
hatinya. Bahkan kedua kakinya hampir saja tumbang.
“Semoga
Kakak bisa ngerjain soal UAS 1 dan dapet nilai bagus.”
Tinggal beberapa jengkal menuju tempat yang ditujunya.
Langkahnya semakin lama semakin terseok.
“...aku
suka sama Kakak...”
Oik terduduk lemas di teras depan pintu kelas XI IPA 5.
Tangisnya langsung pecah kala mengingat semuanya. Ia tergugu begitu hebat
hingga mencengkeram kuat dadanya yang terasa sesak sekali. Semua memori tentang
Cakka kembali melintas di benaknya dengan jelas, tanpa henti, dan semakin
membuatnya merasakan penyesalan yang tak terkira.
“Gue mau ngasih tau sesuatu sama lo.” Nada bicara Agni
berubah serius.
Oik menatap Agni
bingung. “Apa?”
Agni tak berkata. Ia malah menyodorkan smartphone-nya pada
Oik yang tentu
saja disambut dengan keheranan.
Di screenponsel, terpampang chat Line dengan nama
yang ia kenal,salah satu adik kelasnya sewaktu mereka SMA. Tanggal
tertulis setahun lalu.
Di dalamchat, adik kelasnya mengirim foto. Kernyitan di dahi Oik semakin
dalam kala menyadari jika foto itu sebuah screenshot
pemberitahuan.
Jari telunjuknya perlahan terangkat untuk membuka. Entah
mengapa dirinya merasa gemetar.
Nama: Cakka Kawekas Nuraga
No. Peserta: 164-259-10273
Selamat! Anda berhasil lolos jalur SNMPTN di Universitas
XXX dengan program studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni.
Matanya membulat sempurna.
Tangannya yang bebas terangkat untuk menutup mulutnya
yang hendak menjerit tertahan. Kini seluruh tubuhnya bergetar dengan mata
memanas. ‘Cakka satu kampus sama gue.’
“Ternyata Cakka bener-bener suka sama lo dari dulu, Ik.
Dia bahkan ngambil kampus dan jurusan yang sama kayak lo meski pada akhirnya
dia tetep jadi adik tingkat lo di sana.”
Oik membuka mulutnya untuk bertanya namun dipotong oleh
Agni. “Gue tau dari adeknya.”
“Cakka...”
*
Flashback
14
Mei 2015
Drrt! Drrt! Drrt! Drrt!
Bunyi vibrate
yang berulang-ulang mengundang decakan dua puluh orang mahasiswa di dalam ruang
kelas, termasuk dosen pengawas. Suasana kelas yang semula sunyi karena fokus
pada lembar soal UAS sontak sedikit bising, mempertanyakan ponsel siapakah yang
menerima panggilan disaat seperti ini.
“Tolong lain kali kalau mau ujian seperti ini ponsel
harap dimatikan. Setidaknya disilent
saja.”
Semuanya mengangguk saja, patuh pada dosen berwajah
sangar di depan sana.
Keadaan kembali sunyi, para mahasiswa sudah mulai
mendapatkan fokusnya masing-masing. Tak lama, ponsel kembali berbunyi di dalam
salah satu tas di depan sana.
Di kursinya, Oik mencengkeram kuat pulpennya. Entah
mengapa ia merasa bahwa ponselnya yang sedari tadi membuat masalah.
“Tuh hape laku amat, ya, Ik,” celetuk Ourel yang duduk di
sebelah Oik.
Oik hanya mengangguk dan nyengir. Walau masih ragu ponsel
milik siapa, tetapi perasaannya mengatakan bahwa itu ponselnya.
Lima belas menit sebelum waktu ujian berakhir, Oik
menumpuk lembar jawaban beserta soal dan menutup pulpennya.
“Cepet banget, Ik,” kata Ourel heran memperhatikan Oik
yang sepertinya terburu-buru.
“Ruang sebelah malah udah dari tadi, Rel," kilah Oik
sambil tersenyum. “Gue duluan, ya! Nggak usah dipikirin banget ‘tuh soal.”
“Kamvret!”
Oik ke depan untuk mengumpulkan lembar ujian bersamaan
dengan ponsel yang kembali berdering. Oik segera membawa keluar tasnya beserta
dering ponsel yang sedari tadi mengganggu konsentrasi kelas.
Gadis itu duduk di lantai luar kelas dan mengambil
ponselnya yang benar saja mendapat panggilan masuk. Dari Agni. Ia berdecak.
“Halo–”
“Ik,
lo di mana?”
Oik melengos. “Gue di kampus, lah! Lo ngapain nelpon gue?
Gue lagi UAS di sini–”
“Cakka,
Ik...”
Oik mengernyit. “Kenapa Cakka?”
“Dia
koma di rumah sakit.”
Deg!
“Koma kenapa?”tanya Oik tersendat.
Hening. Pertanyaannya seolah sulit untuk dijawab dan
hanya mampu menghela nafas.
“Ag! Cakka koma kenapa? Dia sakit apa selama ini? Kenapa
dia bisa koma? Lo lagi nggak ngasih surprise
murahan, kan?”
“Sorry, Ik. Gue...”
Oik menegakkan duduknya kala menyadari mahasiswa dari
kelas lain keluar dan sekilas memperhatikan dirinya. “Apa yang nggak gue tau
selama tiga bulan ini?” Air matanya terjatuh kala menyadari kesungguhan sosok
di seberang sana. “Dan apa yang coba lo sembunyiin dari gue?”
“Cakka
udah tiga hari koma. Ada masalah sama jantungnya yang selama tiga tahun ini
menghambat aktivitasnya. Dan tiga hari lalu Cakka kecelakaan motor ringan di
depan sekolah. Memang bukan karena memar atau yang lain, tapi karena shock yang
berlebihan terus terlalu capek sebelumnya yang jadi pemicu dan mengarah ke
kondisi jantungnya...”
“Kenapa lo baru ngomong sama gue?” Suara Oik terdengar
lirih di telinga Agni yang tentu saja membuat rasa bersalahnya muncul.
“Gue
minta maaf, Ik. Gue tau ini salah banget. Gue cuma nggak mau ngganggu UAS lo
dan buat lo kepikiran.”
Oik tak langsung membalas. Ia sudah terisak lirih dan menahan suaranya, berharap
tak mengundang perhatian yang lain. Namun nyatanya hal itu membuat hatinya
sesak.
“Lo sekarang di mana?”
“Gue
di rumah sakit bareng anak-anak Pramuka dulu.” Sudah tak heran lagi kenapa Agni di sana. Karena mereka
dulu satu organisasi. “Dokter bilang
kalau kemungkinan Cakka nggak lama lagi sadar.”
Oik langsung menghapus air matanya. Mendengar kalimat
Agni baru saja, secercah harapan muncul. “Tolong pantengin terus, Ag. Gu–gue
pengen banget pulang, Ag...” Gadis itu kembali terisak lirih menyalahkan
keadaan. “Gue pengen ketemu Cakka...”
Kini, ia tak bisa lagi menyembunyikan tangisnya. Orang-orang
yang melewatinya mulai memperhatikannya. Ia tak peduli. Yang menyelimutinya
hanya gambaran sosok Cakka yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit dengan
infus yang menancap di tangan kanannya dan juga alat bantu pernafasan yang
menutupi hidungnya. Membayangkan itu semakin membuatnya terisak lebih hebat.
“Tapi gue bukan siapa-siapanya. Dia bahkan nggak kenal
gue. Dan gue juga nggak kenal temen-temennya yang ngejengukkin. Gue juga...”
Angin dingin berhembus mengibarkan dua lembar soal UAS di
hadapannya, beserta daun-daun kering yang berserakan di latar.
“Ik? Lo kenapa?”
Ourel menyentuh bahunya yang bergerak naik turun. Teman-teman
sekelasnya yang telah keluar pun turut melemparkan tatapan ingin tahu dan
simpati.
“Gue nggak apa-apa.” Oik mengemasi alat tulisnya yang
sebelumnya berserakan di lantai dan berdiri. “Duluan, ya!” Ia berlari menjauhi
teman-temannya.
*
Malam menjemput, menghantarkan suasana sunyi sekaligus
keresahan bagi dirinya. Sudah jam-jam berlalu namun belum ada kabar apa pun dari
Agni tentang Cakka. Tentu saja ia khawatir dan bahkan tak sempat makan siang
sampai sekarang pukul tujuh.
Ia duduk lemas menyandar dinding kamar kosnya yang rapi.
Matanya yang sembab menatap kosong ke pintu kamar yang dipenuhi tempelan
kalimat-kalimat puitisnya untuk Cakka selama tiga tahun ia menyukai pemuda itu.
Tangan kanannya tak lepas menggenggam ponselnya yang berharap Agni
menghubunginya dan memberinya kabar bahwa Cakka telah sadar.
Ponselnya berbunyi, memberikan sedikit penerangan dari
layar ponsel dan menandakan berita baik-seandainya-.
Free
Video Call from Agni Tri Nubuwati
Oik mengangkat panggilan vidcall dari Agni meski benaknya menyiapkan tanya mengapa harus vidcall, dengan situasi sahabatnya itu
masih di rumah sakit bersama teman-teman organisasi Pramuka-nya dulu. Namun
tetap saja ia sibuk mencari earphone-nya
agar terdengar jelas suara dari Agni nantinya.
Layar ponselnya menghitam, menyesuaikan sinyal yang
mungkin saja sedikit menghambat, entah itu dari kartu internet miliknya maupun
milik Agni. Layar perlahan menampakkan cahaya terang menandakan sinyal normal.
Mulutnya membuka hendak menanyakan alasan dari pertanyaannya, namun dalam
sekejap ia langsung mengatupkan mulutnya ketika melihat di layar bukan sosok
gadis berambut sebahu dan berwajah cantik yang menyapa wajahnya.
“Kak
Oik...”
Oik menutup mulutnya dengan tangan kirinya yang bebas. Air
matanya sudah membendung di pelupuk matanya kala melihat seseorang di layar.
Itu Cakka.
“C–Cakka. Lo... Kok lo yang–” Ia benar-benar bingung
sekarang. Di satu sisi, ia senang bahwa yang berbicara padanya adalah Cakka.
Namun di lain sisi ia sungguh kelimpungan harus bagaimana ketika di hadapkan
pada sosok pemuda yang disukainya. Ingin menangis dan menanyakan kondisinya,
tetapi ia bukan siapa-siapa.
Cakka tersenyum lemas, membuat Oik seketika ingin
menangis. “Iya, Kak. Aku yang minta Kak
Agni buat nelpon Kakak. Eh, malah video call. Maaf, Kak, aku ganggu waktu
Kakak...”
Gadis sipit itu menggeleng kuat. Kini wajahnya sudah
terlihat jelas di layar ponsel Agni di sana. “Enggak, Kka. Gimana keadaan lo
sekarang?” tanya Oik sambil memperlihatkan senyum kecilnya.
“Udah
baik, Kak.” Itu bohong. “Makasih.”
Oik mengangguk.
Keadaan hening sekarang. Oik kini bingung harus berkata
apa lagi. Sebenarnya banyak yang ingin ia utarakan mumpung Cakka masih
menghubunginya. Namun mengingat akan berdampak buruk untuk kesehatan pemuda
itu-dan juga hatinya sendiri-ia memutuskan untuk memendamnya sendiri. Seperti
biasanya. Matanya yang sebelumnya menatap pintu, ia arahkan kembali pada ponselnya.
Cakka menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan membuat ia tertegun.
“Em,
Kak. Maafin aku selama ini bersikap nggak baik sama Kakak, bahkan cuek dan
nggak peduli sama perhatian Kakak ke aku waktu kita masih satu sekolah.”
Oik terpaku mendengar kalimat yang dilontarkan Cakka.
Bahkan ia mendengar hembusan nafas Cakka yang berat dan tersengal-sengal.
“Aku
juga bersikap seolah-olah nggak peduli kehadiran Kakak waktu itu. Aku bener-bener
nyesel, Kak. Dan itu yang aku rasain waktu Kakak minta maaf ke aku pas
perpisahan...”
Air matanya terjatuh dan langsung dihapusnya. “Nggak,
Kka. Gue nggak apa-apa. Gue bahkan udah ngelupain itu semua dan ikhlas–”
“Kak.”
Cakka menyela dan kali ini
benar-benar membuat Oik terdiam. Hampir saja ia tergugu melihat keadaan Cakka
yang terlihat dari screen ponselnya.
Infus yang menggantung, tabung oksigen, serta alat bantu pernafasan yang
menempel di hidungnya.Wajah pucatnya dan suaranya yang serak membuat Oik hanya
bisa menahan agar isakannya tidak lolos dan terdengar di telinga Cakka.
Ya
Tuhan, Cakka pasti kesakitan banget...
Terlihat, Cakka menghembuskan nafasnya sedikit kesulitan.
Lihatlah, untuk bernafas pun mengeluarkan tenaga banyak. “Aku mensyukuri semuanya, Kak. Dari dipertemukannya aku sama Kakak diminggu
pertama aku sekolah di depan UKS yang waktu itu aku emang hampir collaps. Hari-hari
di sekolah yang setiap waktu pasti ketemu Kakak, entah itu disengaja atau pun
enggak, walaupun itu pasti karena Kakak curi-curi waktu biar bisa liat aku
meski cuma sebentar. Udah rela ngeluangin waktu ke basecamp Pramuka pas pulang
sekolah dengan embel-embel nemenin Kak Agni.
“Waktu
tahun pertama kita satu sekolah, kelas kita di jam Komputer yang sama dan
ngebuat kelas kita dijadiin satu ruangan. Dan waktu tahun keduaku di sekolah dan
otomatis di tahun terakhir Kakak di sekolah, kelas kita di jam olahraga yang
sama. Nyanyi sambil gitar di bawah pohon yang ngadep langsung ke basecamp
Pramuka pake gitarku yang aku tau pasti Kakak nggak tau waktu itu.”
Oik terpaku mendengar semua kalimat Cakka yang diucapkan
dengan lambat. Ia tidak menyangka Cakka mengingat semuanya, bahkan hal sekecil
itu yang mungkin saja sudah ia lupakan sekarang demi meringankan sakit hatinya.
“Aku
nggak pernah menyesali semuanya yang berkaitan sama Kakak. Aku nggak pernah
nyesel pernah liat Kakak dihukum demi aku. Aku nggak pernah nyesel nerima kado
jam tangan dari Kakak pas aku ulang tahun ke 16, dan juga cupcake dihari
berikutnya. Dan yang terpenting, aku nggak pernah nyesel kenal orang seperti
Kakak.”
Dan kali ini, ia biarkan air matanya lolos begitu saja
menuruni kedua pipi tembamnya. Bibirnya refleks membentuk senyum kecil
mendengar bahwa Cakka tak pernah menyesal pernah bertemu dengannya dan kenal
dengan dirinya. Selama ini ia selalu dihantui argumen hasil pikirannya sendiri,
bahwa Cakka akan jengkel atau bahkan membencinya karena ia selalu mencari
kesempatan untuk bertemu Cakka dan membuat pemuda itu ilfeel. Dengan ini, ia bisa tersenyum lega. Cakka tak seperti yang
diargumenkan hatinya.
Cakka terlihat tersenyum melihat Oik yang menatapnya
lekat sambil tersenyum lega meski air mata masih mengalir di pipinya. Namun
tiba-tiba saja pemuda itu mengernyit dalam dan punggungnya membungkuk. Nafasnya
memburu dan ponsel yang dipegangnya agak kehilangan fokus. Oik tersentak
melihat perubahan Cakka yang hampir saja membuatnya mendadak terkena serangan
jantung.
“Kka, udah lo istirahat aja. Gue takut lo kenapa-napa–”
“Semangat
kuliahnya, Kak. Semoga Kakak bisa ngerjain soal UAS 1 dan dapet nilai bagus.”
“Kka, udah. Lo harus jaga kesehatan lo dan cepet sembuh
dan kita bisa ketemu lagi...”
Oik benar-benar tak tega melihat Cakka yang kesulitan
bernafas, namun ia juga tak mampu menghentikan Cakka. Dalam hati ia ingin
mendengar apa yang akan diucapkan lagi oleh Cakka. Karena ia takut. Takut
dengan kenyataan lain jika ia tak mendengar ucapan Cakka.
“Kak
Oik–Hhh–maaf baru berani bilang, aku suka sama Kakak, sejak Kakak nggak sengaja
buat aku ketawa di depan UKS. Hhh–”
Layar bergerak tak beraturan dan kini hanya terlihat
langit-langit kamar rumah sakit. Oik terdiam menatap kosong layar ponselnya tak
menghiraukan bahwa bukan sosok Cakka lagi di hadapannya. Samar-samar terdengar
suara pekikan histeris dari earphone-nya.
Ia tetap dalam posisinya yang seperti itu sampai screen ponselnya menggelap. Dan tanpa disadarinya, air matanya
turun mengalir di pipinya.
*
15
Mei 2016
Seiring
laraku kehilanganmu merintih sendiri ditelan deru kotamu...
Mendung tiba-tiba datang merebut kekuasaan awan cerah
dalam menguasai langit. Warna biru langit perlahan mengalah dan rela tertutup
awan kelabu kala Agni memarkirkan motornya sembarang di depan halte sekolah.
Dengan perasaan cemas, ia segera meninggalkan motornya dan hendak berlari
mencari sahabatnya itu.
Gerakannya terhenti seketika saat dari gerbang muncul sesosok
gadis berjalan murung yang mencengkeram tali slingbag biru langit bermotif awan dan matahari. Tanpa menatap Agni
yang berdiri kaget di depannya, ia malah melangkah menghampiri halte dan duduk
di sana.
Agni menyentuh bahu Oik lembut. “Lo nggak apa-apa?”
Oik menggeleng pelan membuat Agni bernafas lega. “Ag?”
“Ya, Ik? Ada apa?”
Oik menghembuskan nafas berat. “Maafin gue. Waktu itu gue
udah marah-marah sama lo hanya karena lo vidcall
gue. Padahal lo kangen sama gue...”
Gadis berkulit sawo matang itu mengangguk singkat dan
berdehem. “Gue maklumin itu, kok, Ik. Lagian udah tau semenjak lo trauma sama vidcall Cakka waktu itu, gue malah
kepedean vidcall lo. Malem-malem
lagi.”
Oik mendongak menatap langit gelap yang mungkin sebentar
lagi akan turun hujan. Bicara tentang hujan, apakah kali ini hujan tetap
membuatnya merasa sedih lagi?
“Mau hujan, deh, kayaknya. Padahal tadi masih panas,
mataharinya masih semangat di atas.” Agni mengikuti arah pandang Oik.
Suara fals
serta genjrengan kentrung masuk melalui gendang telinga Agni hingga mengalihkan
perhatiannya. Sudah ada dua pengamen cilik sekitar umur anak SD berdiri di
depan mereka berdua dan bernyanyi salah satu lagu yang nge-hits saat ini.
Oik yang merasakan hal yang sama dengan Agni ikut beralih
memperhatikan dua pengamen itu. Seketika bayangan masa lalu berlarian di
benaknya, membuatnya mengeluarkan uang dua ribuan dari saku celananya dan
memberikannya pada salah satu pengamen, seperti yang dilakukan Cakka dulu, di
halte ini juga. Ia melihatnya secara langsung karena ia sengaja duduk di bawah
atap halte yang sama.
“Gue pernah liat Cakka ngasih uang ke pengamen, disaat
temen-temennya yang lain pada nggak suka sama pengamen-pengamen yang-menurut
pendapat mereka-masih bisa cari kerja yang lebih baik. Dan Cakka nggak nanggung-nganggung
ngasih uang ke pengamen itu.”
Agni menyentuh bahu Oik sekali lagi, merasa cemas dengan
keadaan hati sahabatnya. “Udah, Ik...”
Oik mengangguk dan tersenyum. Kali ini senyumnya tulus.
“Emang udah. Pulang, yuk...”
Selepas mengatakan itu, hujan tiba-tiba saja turun. Meski
tak terlalu lebat, keduanya tetap nyengir bersamaan. Sebelum teriakan
mengakhiri sesi nyengir mereka.
“Oik! Motor gue kehujanaaan!”
***
Epilog
20
Oktober 2018
Hai
Obieeet! Apa kabar di sana? :)
Udah
hampir dua tahun kita nggak ketemu. Betah nggak kalo nggak ada gue di sana? :P
Bentar
lagi ngadepin sidang juga nih. Udah jadi, kan, skripsinya? Gue percaya lo
seperti yang ada di bayangan gue. Seorang Obiet yang aktivis kampus, sibuk
bolak-balik basecamp, dan tetep nomor satu dalam kuliah >.<
Pindah
kuliah bikin kangen sama lo, ya. Haha. Di sini gue tetep ngambil jurusan yang
sama yang nggak bikin gue jadi maba lagi. Tapi kenapa gue tetep kangen jailin
lo, ya? :3 Bercanda, haha.
Lo
baik-baik aja, kan? Gue juga, nih. Sorry buat pengorbanan lo selama ini.
Gue emang nggak bisa bales perasaan lo, tapi gue tetep sayang sama lo sebagai
temen gue satu-satunya.
Lo
udah punya pacar belum? Kalo belum, kesian amat. Ganteng-ganteng jomblo *bhak.
Eh, gue juga, deng -_- Tapi kalo udah jangan lupa kenalin ke gue. Wajib! Kalo
nggak gue marah dan nggak mau lagi temenan sama lo.
Oh,
iya. Sekali-kali mampir, kek, ke Jogja. Gue tau lo sibuk pake banget, tapi
seenggaknya luangin waktu lo ke sini. Gue jamin nggak bakal bosen, deh. Lagian
lo belum pernah ke Jogja, kan? Janji, deh, kalo lo ke sini gue bakal jadi tour guide lo tak
berbayar -_-
Maaf
sebelumnya. Gue nggak pernah pake hape lagi. Soalnya masih sedih, sih, huhu T_T
Agni aja kelimpungan, tuh, kalo mau ngajakin gue ketemu, wkwk. Tunggu gue
comeback, ye!
Udahan,
ya. Capek nih nulisnya soalnya nggak pernah nulis di kertas, biasanya kan
ngetik di komputer. Gue tunggu lo di Jogja, man! See you! :)
Salam manis dari cewek manis,
Oik Ramadlani
Gita melipat pelan surat dari pengirim yang seringkali ia
dengar dari pemuda yang duduk di hadapannya. Dengan perlahan, ia menaruh surat
itu di atas meja kafe.
“Setelah gue nganterin dia ke stasiun dua tahun lalu, gue
sadar kalo itu pertemuan terakhir gue sama dia. Dia pulang ke rumahnya dan
sejak saat itu bener-bener menetap di sana. Dia emang nggak pernah ngejelasin
apa-apa kenapa dia selalu nolak gue. Tapi gue tahu alasannya.”
Suasana kafe depan kampus semakin ramai. Pergantian jam
kuliah di salah satu fakultas dan mengakibatkan mahasiswanya secara tiba-tiba
memiliki ide yang sama untuk menghabiskan waktu senggangnya di kafe ini.
“Dia masih keinget cowok yang udah nembak dia lewat vidcall, disaat dia masih ada UAS di
sini, dan disaat cowok itu diantara hidup dan matinya. Walaupun dia nggak
pernah cerita sama gue sampai detik ini, tapi gue tau gimana rasanya ditinggal
orang yang disukai dan nggak bisa ketemu untuk terakhir kalinya meski nggak
bernyawa lagi. Seumur hidupnya bakalan keinget dan itu bener-bener membekas disepanjang
hidupnya.”
Pemuda itu menghela nafas dan menatap Gita yang duduk
dengan kepala menunduk di depannya. “Itu sebabnya gue belum bisa bales perasaan
lo ke gue.”
Gita mendongak dan terlihatlah jika matanya berkaca-kaca.
“Obiet...”
Obiet menatap gadis itu lekat. Gadis berambut ikal
pindahan dari Surabaya, tepat sehari setelah Oik pindah secara resmi ke
Yogyakarta. Kehadiran Gita seolah-olah memang untuk menggantikan posisi Oik di
kelasnya.
Sebenarnya, ia merasa bersalah karena selalu mengabaikan
perhatian dari gadis ini sejak mereka bertemu di kelas 4E. Dan juga ia sering
menyebut-nyebut nama Oik ketika mereka sedang bersama, seperti saat ini. Namun
tak pernah sekalipun Obiet menjelaskan siapa itu Oik pada Gita yang selalu
menanyakan. Dan baru kali ini ia membeberkan semuanya, beserta surat yang ia terima
dari Oik beberapa bulan yang lalu.
Tangan kanannya meraih kedua tangan Gita yang bertaut di
atas meja. Hal itu sontak mengejutkan Gita. Obiet hanya tersenyum simpul. Jika
dimulai dari hari ini, tak masalah, bukan?
“Besok wisuda, dan lusa gue mau ke Jogja nuruti kemauan
Oik. Lo mau ikut sama gue?”
Mata Gita membulat, tak percaya dengan ajakan Obiet yang
begitu tiba-tiba. Ia menatap mata Obiet yang menegaskan kesungguhan.
Dan mengangguk yakin ialah jawabannya.
***
THE END
Dhea A.
Sabtu, 10 Februari 2017
01.45 WIB
Komentar
Posting Komentar