Return (Cerpen, Fanfic IC)



Return
(Akhir yang tetap seharusnya)

Ngiiiiing

Suara mikrofon yang gagal memenuhi lapangan tengah sekolah. Beberapa warga sekolah mengeluh telinga mereka berdenging menyakitkan. Dan sepertinya, pengisi acara di atas panggung tak mendengarkan apa pun, seolah hal itu memang sudah biasa terjadi.

Sambil memperhatikan sekilas mantan adik kelasnya yang tadi mengeluh, dengan perlahan tangannya turut menurun dari kedua telinganya. Pemuda berkulit putih itu kini beralih duduk di bangku yang terbuat dari keramik di depan kelas XII IPA 1, kelas paling dekat dengan kantor guru.

27 Desember 2016. Penghujung tahun telah tiba. Diesnatalis sekolahnya dulu berlangsung meriah, seperti tahun – tahun sebelumnya. Banyak alumni juga yang datang, termasuk dirinya. Matanya mengelilingi setiap sudut sekolah yang bisa ia lihat dari sini, menghiraukan performance band dari kelas 11. Sedari ia sampai di sini, belum terlihat apa yang ia tunggu.

Ia memperhatikan hiruk pikuk euforia dari warga sekolah. Banyak pula yang ikut menari di dekat panggung. Dan bisa ia tebak, banyak dari mereka dari kelas 12. Entah mengapa selalu saja terpahat pemikiran mengenai hal – hal terakhir yang ingin dilakukan di tahun akhir SMA.

Persis dirinya tahun lalu.

“Alvin!” Tiba – tiba saja pundak kanannya ditepuk seseorang. Ia menoleh.

“Woi, Rio! Anjir lo, jam segini baru dateng?”

Pemuda berambut jabrik yang tadi menyapanya terkekeh ringan. “Yaelah, Vin, lo kayak nggak ngehargain usaha gue banget. Gue terbang dari Bandung jam 6 pagi, bro!”

Kini, ganti Alvin yang terkekeh. “Kenapa baru pulang? Perasaan kampus kita udah libur seminggu lalu.”

“Biasalah, orang sibuk. Mau jadi menteri gue,” jawab Rio asal membuat Alvin semakin terkekeh. “Gue mau ke kantin, nih, laper. Lo mau ikut nggak?”

Alvin berpura – pura memasang raut berpikir keras. Rio yang melihat itu sontak memutar kedua bola matanya. “Boleh, deh. Walaupun gue nggak ikut makan.”

“Santai aja, bro. Lo bisa ngeliatin gue makan. Daripada di sini, ngenes banget.”

Alvin melemparkan tatapan sinis.

“Canda. Kuy, lah. Udah nggak nahan.” Rio merangkul Alvin dan menyeret pemuda itu secara paksa.

*

Kembali seakan aku bisa melihatmu muncul seperti hari kemarin~

Alvin duduk menghadap panggung di depan kelasnya dulu, XII IPA 4. Ia langsung kabur ke sini mengetahui Rio ke kantin juga mempunyai maksud lain, yaitu bertemu mantan. Dirinya yang selalu malas dihadapkan dengan situasi itu langsung pergi tanpa pamit. Dan lagipula, teman satu kelasnya dulu itu tidak menyadarinya.

Sudah pukul 11. Euforia semakin menyebar saja. Sedari tadi, silih berganti teman – teman satu angkatannya menyapa dan berlalu, seperti membiarkan ia sendiri. Sejujurnya, bukan karena ia tak senang bertemu teman lama, namun satu – satunya orang yang ia harapkan hadir hari ini tak kunjung muncul.

Seharusnya lo dateng sekali lagi.

Gadis bermata bulat dengan rambut yang selalu terkuncir kuda, wajah ceria dan senyum lebarnya yang secerah matahari. Kesempatan terbuang itu yang selalu membayanginya sejak diesnatalis tahun lalu.

Dan jika ia berharap di diesnatalis tahun ini ia bertemu, salahkah?

“Sayang banget Shilla nggak bisa dateng.”

“Bukan nggak bisa. Tapi nggak mau.”

Alvin menoleh ketika mendengar seseorang menyebut nama yang ditunggunya. Terlihat dua perempuan yang dikenalnya berjalan hampir melewatinya. Tatapan mata mereka tak lepas dari penampilan solois dari kelas 12.

“Padahal tadi gue lihat ada Alvin di sini. Harusnya ‘tuh anak dateng.”

“Tadi, sih, gue ketemu di depan gerbang sama adeknya dan katanya mau pergi gitu. Padahal menurut gue Shilla nggak mau dateng karena semakin nggak bisa move on.”

Padahal gue nungguin lo dateng, Kak.

*

“Gue nggak tau harus seneng atau nggak ketemu Alvin lagi di sini. Hah, padahal gue emang sengaja, sih, dateng ke diesnatalis. Karena gue ngerasa ini kali terakhir gue ketemu dia.”

Kalimat setahun lalu itu masih terngiang sampai saat ini, kalimat yang terucap dengan suara yang menggema cukup rendah dari kakak kelas yang duduk tidak jauh darinya. Ya, setahun lalu, terakhir ia menyandang status sebagai siswa SMA.

Alvin menghela nafas. Bahkan selepas ia menunaikan sholat Dzuhur di sekolah, gadis itu tetap tidak datang. Dan ia merasa menyesal.

Menyesal dari dulu selalu menghiraukan perasaan kakak kelasnya itu.

Ia sangat tahu. Shilla menyukainya sejak pertama kali mereka bertemu di depan Koperasi Siswa. Dan saat itu ia masih menjadi kekasih dari orang lain. Ya, dirinya menyadari betapa konsistennya gadis itu dahulu, menunggunya single lagi, hingga akhirnya ia melabuhkan cinta lagi pada orang lain, menghiraukan tatapan sendunya saat itu.

Maafin gue, Kak.

*

Pukul tiga sore. Acara ulang tahun sekolah berakhir dengan meriah ditandai dengan beterbangannya kertas silver ke udara. Semua orang begitu menikmati hari ini. Alvin yang melihat itu hanya tersenyum dari tempat duduknya di depan UKS.

Hingga saat ini, gadis itu tak datang. Sekarang ia sudah mampu untuk merelakannya. Merelakan semuanya tetap tersesali. Baik dipihak dirinya, maupun dipihak Shilla.

Dimana pun masing – masing kita berada, akankah kita tetap bahagia?

“Vin, ayo ke kafe DreamCatcher. Kita reunian kelas dulu,” ajak Rio merangkul Alvin dan setengah paksa menariknya beranjak.

Alvin sekali lagi menoleh ke arah koridor – koridor kelas. Benar. Tetaplah seperti ini. Karena semampu apa pun ia ingin kembali kepada kenangan – kenangan, tentu saja itu mungkin sudah terlambat, dan tertinggal di tempat terdahulu.

Akhir musim yang tak diketahui, akankah aku mengatakan mencintaimu?

***
Dhea A.
Jumat, 04 Agustus 2017
2.33 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Suatu Ketika (Puisi)

Memoria (Cerpen)

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis dengan teori struktural!