Jenang Kudus, Sampaikanlah... (Fanfiction, Cerpen Idola Cilik)


Nama hanya fiksi, ya. Untuk isi cerita itu fakta.
Jenang Kudus, Sampaikanlah...

Semarang, 19 April 2017

Perkuliahan Korespondensi usai pukul setengah satu siang tepat. Aku berdiri dari tempat dudukku cepat bahkan sebelum dosen humoris itu keluar. Langkahku gesit menyalip teman – temanku yang menyingkir dari bangku masing – masing. Tak mau kalah, aku segera menuju Via di bangku seberang dari bangkuku sebelumnya.

“Gimana, Vi? Udah kejual semua tiketnya?” tanyaku semangat pada Via yang duduk sambil menghitung uang. Lalu ia mendongak ke arahku.

“Belum semua, Fy. Eh, iya, Fy. Tolong bagiin ini ke temen – temen, ya,” pintanya sambil mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Jenang.

“Oleh – oleh dari Kudus, ya, Vi?” celetukku tertawa. “Siap! Kalo perlu nanti kamu nggak kebagian.”

“Hahaha, nggak apa – apa, Fy. Justru aku malah seneng kalo habis. Lagian aku bawa emang buat temen – temen.”

Aku mengacungkan jempol tanda salut untuknya. Benar – benar senang aku mempunyai teman sebaik dan secerdas dia. Entah apa jadinya jika ia tak masuk satu organisasi yang sama denganku, mungkin aku mempunyai pemikiran untuk keluar.

Aku menjadi teman dekatnya semenjak kami sama – sama diterima di lemawa fakultas januari silam. Awalnya aku mengajaknya mengobrol karena formalitas dan karena aku kesepian tak ada teman. Namun semakin lama, aku menjadi dekat dengannya. Via selalu menolongku yang tak tahu apa – apa mengenai organisasi, dan bantuannya benar – benar tulus, padahal terkadang aku memberikan sikap yang menyebalkan.

Langsung saja, aku mencegat teman – temanku yang hendak keluar di ambang pintu. Dan ternyata, sudah ada beberapa dari kelas semester atas yang mengantri di luar untuk bergiliran menggunakan kelas.

“Jenang, guys. Boleh ambil sesuka hati,” tawarku.

Melihatku membawa jajanan, spontan teman – temanku mendekat dan mengambil jenang. Rata – rata mereka mengambil dua atau tiga. Harus kuakui, kelasku jika sudah ditawari jajan pasti langsung cepat tanggap. Jadi tidak akan sia – sia jika membawa jajanan banyak dari rumah.

Dari sudut mataku, ada Kak Zahra-teman satu organisasiku-berdiri diantara kakak tingkat di sini. Ia tersenyum dan mendekat padaku.

“Duh, Dek. Jangan di pintu, ya. Buat lewat,” peringatnya dan aku mengangguk patuh. “Itu apa, Dek?”

“Oh, ini jenang, Kak. Minta? Ambil sesukanya,” tawarku sambil menyodorkan bungkusan jenang ke hadapannya. Kak Zahra mengambil satu dan mengucapkan terima kasih. Aku tentu saja tersenyum membalas dan menawarkan jajanan milik Via pada teman – teman Kak Zahra juga.

Sampai akhirnya, aku menemukan sosoknya. Pemuda mengenakan tas biru berdiri di sebelahku, memperhatikanku dan Kak Zahra yang sedang membicarakan jenang. Aku seketika kelu dan grogi. Namun dengan cepat aku menghela nafas kembali dan berlanjut membagikan jenang pada temanku serta membalas candaan Kak Zahra.

“Kamu sekarang jualan jenang, ya!”

“Iya, nih, Kak. Bentar lagi tanggal tua, harus ada stok buat beli mi.”

Kak Zahra tertawa dan aku pun turut tertawa. Namun, aku mendengar tawa lain di antara kami, dan ternyata pemuda itu ikut tertawa mendengar lelucon kami. Bagaimana aku tak terkesiap dan terpesona?

Selagi aku menekuri keterdiamanku, pemuda itu berbicara dengan Kak Zahra, mereka ternyata teman satu kelas. Aku tak mampu menangkap pembicaraan keseluruhan mereka karena mendadak saja telingaku tuli. Yang mampu kutangkap, mereka membahas mengenai apa yang kulakukan dengan Kak Zahra.

“Setahuku kamu bukan dari Kudus, deh, Dek,” ucap Kak Zahra. Pemuda itu pun menatapku. Spontan, aku tersenyum tipis karena malu.

“Aku darimana aja, Kak. Asal bersama Kakak.” Aku membalas, tak lupa mengerlingkan mataku, menggoda.

Setelah aku mengatakan itu, kulihat pemuda itu tertawa. Kukira ia tertawa karena mengikuti Kak Zahra tertawa. Kulihat, tawanya itu tulus. Dan tunggu, dia tertawa karena aku?

“Aku masuk dulu, ya, Dek! Makasih jenangnya,” kata Kak Zahra tersenyum dan melambai padaku. Kubalas dengan tersenyum.

Tak lama setelah Kak Zahra masuk, pemuda itu melepas sepatu dan masih ada sisa tawa di sana. Ah, betapa manisnya kakak tingkat di depanku ini. Sudah kukatakan dengan jelas pada teman – temanku, dia tidaklah setampan presiden mahasiswa di kampusku. Namun sekali melihat tawa tulusnya, kamu akan terpesona. Ditambah pula lesung yang muncul samar di kedua pipi tirusnya.

Awalnya, aku memang terpesona padanya ketika mengikuti technical meeting salah satu acara besar fakultas, hanya karena sosoknya mirip dengan seseorang di masa lalu. Setelah itu, semuanya biasa saja. Hingga akhirnya, aku kembali dipertemukan olehnya di open recruitmen lemawa fakultas, dan dia menjadi pengujinya. Tanpa memikirkan apa pun lagi, aku langsung mendekatinya.

Namun apa yang terjadi selanjutnya? Ia berbicara denganku formal dan tak banyak basa – basi, bahkan tanpa ada basa – basi. Semuanya to the point dan itu membuatku sebal. Padahal aku sudah menyelingi dengan canda agar tak terlalu serius dan memusingkan.

Dan lihatlah waktu itu, giliran setelahku malah diajak bercanda. Rasa – rasanya aku ingin memukul kepalanya menggunakan sepatu ketsku.

Kembali ke masa sekarang. Pemuda itu masih diluar, meladeni gurauan teman – temannya. Sebenarnya, setelah hari open recruitmen itu, aku sudah biasa saja melihatnya sesekali di selasar gedung perkuliahan. Hanya saja yang membuatku semakin penasaran dengan sosoknya, kala teman – temanku yang sama – sama terpesona membesarkan hal ini dan aku ikut terseret arus. Jadilah, aku menyukainya, maksudku mengaguminya.

Tetap saja, melihatnya tadi tertawa lepas seperti itu karena ulahku, mana tahan aku untuk tidak terbawa perasaan?

“Kak Rio, minta jenang juga?” tawarku tersenyum lebar. Dan di detik kemudian aku tersadar. Keberanian darimana aku menawarinya dan bahkan menyebut namanya?

Yah, kurasa Kak Rio memang tidak heran kenapa aku mengetahui namanya karena dia demisioner dan aku pengurus baru. Semoga Kak Rio tidak tahu bahwa aku menahan mati – matian perasaan grogiku.

Kak Rio yang saat itu memang sedang memperhatikanku, tersenyum mengangguk. “Eh, boleh, Dek. Nggak apa – apa ini?”

Aku mengangguk kuat dan tersenyum lebar. Kak Rio mengambil dua jenang sekaligus. “Justru aku malah seneng kalo ada yang minta.”

“Haha. Oke, makasih, ya,” ucapnya pamit balas tersenyum lebar hingga memunculkan lesungnya. Lagi – lagi aku terkesiap. Ekor mataku mengikuti dirinya masuk ke ruang kelas hingga duduk di bangku yang tadi kududuki.

Refleks, aku memeluk bungkus jenang dan tersenyum, menahan gejolak perasaan yang tak hentinya menyelimutiku.

“Ify, sini, deh, bentar. Minta jenangnya lagi,” panggil Shilla di depan toilet bersama Via. Aku berlari kecil ke arah mereka sambil spontan berseru.

“Viaaa. Kalo balik Kudus, bawa jenang lagi, yaaa!”

***
(Halo Kakak, teruslah tertawa seperti itu padaku karena aku menyukainya!)
DheaMboxwrite
Jumat, 12 Mei 2017
17.29 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Suatu Ketika (Puisi)

Memoria (Cerpen)

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis dengan teori struktural!