White Coffe (Cerpen, Fanfic IC 2)

White Coffe

Jumat, 4 November 2016. Delapan bulan setelah hari itu...

“Perhatian kepada seluruh penumpang kereta Kaligung. Sebentar lagi kereta akan sampai di stasiun Pekalongan. Bagi yang turun di stasiun Pekalongan harap mengemasi barang – barang...”

Suara yang sudah tak asing lagi bagiku kini beralih menggunakan bahasa Inggris. Mungkin di kereta ini ada penumpang berkewarganegaraan asing. Dan mungkin saja bule – bule itu turun di stasiun yang sama denganku. Hihi.

Seperti yang diperintahkan oleh petugas wanita melalui speaker kereta, aku mengemasi barang – barangku. Walau hanya helm dan tas saja yang kubawa, tapi cukup merepotkan.

“Ik, mendingan kamu turun ikut kita,” sela Agni menggangguku.

“Turun di Pemalang? Makasih banyak, lho, Ag. Aku turun di sini aja.”

Suara peringatan itu kembali bergema. Kali ini disertai tanda waktu, yaitu kurang lima menit lagi. Kereta mulai melambat. Kulirik jendela. Kendaraan yang berhenti karena menunggu kereta ini lewat langsung terlihat dari mataku.

Disaat itu juga aku teringat sesuatu. Ini hari jumat. Hari dimana sekolahku dulu rutinan renang setiap dua kali dalam satu semester di kolam renang milik pamanku. Aku mengingat tanggal. Ah, andai saja hari ini tepat jadwal renang kelas tiga sekolahku. Namun aku tak berharap terlalu tinggi. Terlalu biasa aku berharap seperti ini.

Aku turun dari kereta ketika kereta yang kutumpangi benar – benar mengizinkan penumpangnya untuk turun. Tak lupa, aku berpamitan pada ketiga temanku yang berasal dari kota yang sama denganku, yang kebetulan satu kelas denganku.

*

Comal. Jumat, 4 November 2016

Suasana yang sudah lama aku rindukan. Jalan raya yang ramai lancar, hawa panas yang tak terlalu menyengat, juga aktivitas membantu orangtuaku bekerja di kolam renang. Terlalu lama di Semarang-untuk melanjutkan studi tentu saja-membuatku ketinggalan banyak perubahan baru yang telah terjadi di sini.

Kolam renang ramai hari ini. Banyak kendaraan terparkir di halaman, khususnya motor. Maklum, bulan ini masih dalam jadwal renang sekolah – sekolah. Sampai – sampai, Ayahku yang baru saja menjemputku di stasiun Pekalongan, bingung akan memakirkan motor di mana.

Sepanjang mata melihat motor – motor yang berjejer rapi, sedari tadi mataku menemukan motor Mio Hijau dengan helm INK Centro warna ungu. Setiap itu pula, mataku langsung tertumbuk pada plat motor. Aku tersenyum hambar. Dari sekian jenis motor, kenapa banyak orang yang menggunakan motor dengan jenis yang sama dengan milik orang itu?

Hal ini membuat sesak itu hadir lagi. Harapan kembali membumbung tinggi, harapan bahwa seseorang itu di sini, secara kebetulan. Sebagai hadiah tak langsung ketika aku menginjakkan kaki di sini, kembali.

“Ke sekolah lagi? Sibuk amat, ye?”

“Dimaklumin. Ada latihan buat praktik musik.”

Aku memandang ke depan. Suara dua siswa begitu terdengar dengan jarak yang lumayan jauh. Siswa yang masih berpakaian seragam pramuka lengkap berjalan ke arahku, arah keluar, arah pulang.

Tunggu, sepertinya aku mengenali mereka berdua. Dua orang yang selalu melintas di koridor depan kelasku dulu. Mataku berkaca – kaca, apalagi ketika kulihat badge di lengan kiri mereka.

Tanpa kusadari, aku berlari masuk ke dalam, menembus kerumunan orang yang berlalu lalang memperhatikan penampilan ala anak kuliah maupun barang bawaanku yang persis orang mudik.

Nafasku terengah tepat di depan kantin orangtuaku. Banyak orang – orang yang kukenal di sini. Ya, harapan yang terkabul. Apakah dikenankan untuk merasakan lebih lanjut?

Seperti orang yang jatuh cinta untuk yang pertama kalinya, aku bercermin merutuki wajah kumalku. Astaga, untungnya aku belum bertemu orang itu. Segera, kuambil bedak tabur dari dalam tas kecilku. Membubuhkan sedikit sentuhan bedak di wajah kurasa tidak terlalu berlebihan. Tak lupa, kurapikan jilbab yang sedikit miring efek mengenakan helm.

Setelah semuanya beres, aku mengambil duduk di kursi kasir, menggantikan Ayahku yang sedang bercengkerama dengan teman – teman beliau di gazebo samping. Sambil terus mengamati lalu – lalang mantan adik kelasku, aku mengambil salah satu makanan ringan karena perutku minta diisi sedari menunggu antrian tiket di stasiun Poncol Semarang.

Tiba – tiba, siluet pemuda berkaos coklat melintas di depan kantinku. Bukan, bahkan tepat di depan etalase kaca dan berhenti di etalase setinggi perut, tempat bertransaksi. Aku terpaku. Apakah Tuhan benar – benar mengizinkanku bertemu dengannya hari ini?

Dan, apa yang kulakukan? Aku malah menundukkan kepalaku, fokus pada ponsel yang menampilkan timeline Instagram. Grogi langsung menyelimutiku. Kubiarkan ia berbicara pada salah satu karyawan kantinku.

Dan nada bicara itu kembali terdengar di telingaku, bagaikan melodi penyemangat disaat terpuruk.

“Mbak, kopi White Coffe  panas satu.”

Aku tersenyum. Akhirnya setelah sekian lama aku mendengar suara itu, suara yang sangat kurindukan dari seseorang yang membuatku jatuh cinta di masa SMA-ku.

Cakka Nuraga.

*

Setengah jam telah berlalu, dan selama itu pula aku memperhatikan Cakka dari sini. Sosok itu duduk di depan kantinku, bersama teman – teman perempuan satu organisasinya. Ah, mimpi apa aku semalam? Ini yang ketiga kalinya pemuda itu bersedia membeli sesuatu di kantin ini.

Tiba – tiba kulihat ia berdiri dan menghampiri etalase untuk bertransaksi. Tatapannya tepat menuju mataku. Aku terdiam, ia pun turut terdiam di sana, seolah berpikir. Hati kecilku ingin menyapanya, bahkan kalimat itu sudah di ujung lidah. Namun kutatap dengan intens kedua matanya. Mata itu bukan mata yang bersahabat. Seketika hatiku mencelos. Ia tidak mengenaliku bahkan mungkin sengaja melupakanku.

“Mbak, bayar.”

Lamunanku buyar seketika. Untung saja aku bisa menetralisir kegugupan. “Apalagi?”

“Kopi White Coffe.” Jujur, aku merasa sesuatu menggelitik pikiranku. Kalimatnya sungguh tidak efektif.

“Oh, empat ribu,” ucapku sambil mengangkat keempat jariku.

Kuperhatikan dirinya lebih leluasa ketika ia sedang menunduk mengambil uang di dompetnya. Aku tersenyum tipis. Keadaan ini selalu aku tunggu, berinteraksi dengannya. Meski hanya mengobrol seperti ini.

Cakka menyerahkan uang lima ribuan di atas etalase. Aku berdiri untuk mengambil uangnya. Dalam hati aku berteriak kegirangan. Uangnya tidak pas empat ribu. Jadi kujadikan momen mengambil kembalian ini untuk sengaja berlama – lama. Bisa dibilang nggak disengaja juga, sih. Karena uang seribu sekarang susah untuk dicari. Aku tahu pemuda itu memperhatikanku mengambil kembalian.

Dan pada akhirnya aku harus merelakan momen ini berakhir dengan meletakkan kembalian tepat di telapak tangan Cakka. Saat kulitku tak sengaja menyentuh tipis kulit tangannya, getaran yang telah lama tak kurasakan kembali mencuat. Membuat memori tentang pemuda itu muncul kembali di permukaan setelah sekian lama aku kubur sedalam mungkin.

“Makasih,” ucapku tulus sambil tersenyum hambar.

“Iya,” jawabnya sambil mengangguk – nganggukkan kepalanya. Tanpa mempedulikan keadaan hatiku, ia langsung membalikkan badan. Mengambil tas di kursi lalu beranjak dari sini.

Secepat itukah pertemuan ini?

Kutatap kepergiannya menuju gerbang keluar. Aku menghela nafas. Meski yang kulihat hanyalah tas punggungnya untuk penutupan kisah hari ini, setidaknya aku harus bersyukur. Tuhan mengabulkan permintaan singkatku hari ini, seperti tak mempedulikan bagaimana diriku melupakanNya.

Jika memang hari ini akhir dari kisahku dengannya, aku merelakannya dengan sepenuh hati.

Cakka Nuraga, terimakasih telah hadir dalam hidupku, juga melengkapi kisah cintaku.

Oik Ramadlani

***

Dhea A.
Minggu, 4 Desember 2016

01.57 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Suatu Ketika (Puisi)

Memoria (Cerpen)

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis dengan teori struktural!